Positivisme dalam Geografi
1. Pengertian Positivisme
Positivisme
berasal dari kata ”positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual
yaitu sesuatu yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut aliran positivisme,
pengetahuan tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu
pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh
sebab itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu,
positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan ”hakikat”
benda-benda, atau ”penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta (Praja,
2010: 133).
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah
filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang
didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa
dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat,
yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian
diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga
digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-Manazhir (Semiawan, 2010:
44).
Sekalipun demikian, konseptualisasi
positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dipelopori Auguste Comte pada
abad ke-19. Adapun yang menjadi titik tolak dari pemikiran positivis adalah
apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga menolak
keberadaan metafisika. Kemudian yang dimaksud dengan ”positif” adalah segala
gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif.
Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar
dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Jadi,
positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus
didasarkan pada data empiris. Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci
pencapaian hidup manusia dan dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial
yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan akurasinya dalam kehidupan dan
keberadaan di masyarakat.
Comte sering disebut ”bapak positivisme” dan
juga ”bapak sosiologi” (Soekanto, 2007: 350) karena
aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan
khayalan. Comte menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu
pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.
Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat yang
tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama
humanis modern. Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan.
Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia
objektivistik.
Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa
objek-objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan
properti-properti mereka secara langsung melalui data inderawi.
Tugas khusus filsafat menurut aliran ini
adalah mengordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya.
Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan
oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda
dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif
sebagai sumber pengetahuan, tetapi positivisme tidak menerimanya (Tysna, 2014:
8). Positivisme hanya mengandalkan pada fakta-fakta. Artinya bahwa semua sumber
hal yang berhubungan dengan metafisik pada aliran positivisme tidak digunakan
lagi.
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh
positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika).
Menurut Ernst (dalam Tysna, 2014: 11), ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran
metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran
metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat
ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat
kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah
menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi
penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori
melainkan aktifitas. Filsafat tidak menghasilkan proposisi-proposisi filosofis,
tapi yang dihasilkan adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.
Urutan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan
tersusun sedemikian rupa sehingga yang satu selalu mengandalkan semua ilmu yang
mendahuluinya dengan demikian Comte menempatkan deretan ilmu pengetahuan dengan
urutan sebagai berikut, yaitu ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi,
dan sosiologi (Praja, 2010: 136). Semua ilmu pengetahuan pokok dapat dijabarkan
kepada salah satu dari keenam ilmu tersebut. Ilmu pasti merupakan ilmu yang
paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain
relasi-relasi matematis, astronomis membicarakan juga tentang gerak. Dalam
fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya kimia
membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan
dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya dalam biologi yang kini
membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan yang
diberi nama sosiologi yang mengambil objek penyelidikannya gejala-gejala
kemasyarakatan yang terdapat pada mahluk-mahluk hidup yang merupakan objek
biologi yaitu ilmu sebelum sosiologi.
Istilah sosiologi ini untuk pertama kali
dalam sejarah dibentuk oleh Comte sendiri baru dapat berkembang sesudah
ilmu-ilmu lain telah mencapai kematangan, karena itulah Comte beranggapan bahwa
selaku pencetus ilmu sosiologi, ia mengantarkan ilmu pengetahuan masuk ke dalam
positifnya. Oleh sebab itulah, sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk
usaha manusia seluruhnya. Dengan merancangkan sosiologi, Comte mempunyai maksud
praktis yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai
masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna (Praja, 2010:
136). Hukum yang lebih sempurna tersebut dapat tercapai apabila tatanan
masyarakat sudah mencapai taraf yang lebih baik.
2. Sejarah Positivisme
Pada kurun waktu antara 600 tahun SM sampai
kurang lebih tahun 200 Masehi kebudayaan Yunani memberikan corak baru pada
pengetahuan yang berdasarkan pada receptive
mind (Semiawan, 2010: 8). Kebudayaan bangsa Yunani sudah mempunyai suatu
penalaran yang selalu menyelidik (inguiring
mind), dimana tidak menerima peristiwa-peristiwa atau pengalaman-pengalaman
begitu saja secara pasif-reseptif, tetapi ingin mencari lebih jauh akar dari
fenomena tersebut bisa terjadi dan sangat beragam di alam ini. Karakteristik
penalaran serupa ini kelihatannya tidak dapat dilepaskan dari pandangan orang
Yunani pada waktu itu mengenai harkat manusia. Mereka berkeyakinan bahwa
manusia merupakan mahluk yang luhur yang mempunyai kebebasan.
Pandangan orang Yunani mengenai manusia
melandasi asas demokrasi yang dipraktekan mereka sehari-hari dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara bahkan merupakan sumber inspirasi bagi kehidupan
bermasyarakat berbagai bangsa sampai saat ini. Pandangan itu juga
melatarbelakangi corak filsafat mereka yang banyak menekankan pada keistimewaan dan kekuatan penalaran manusiawi
yaitu rasionalitas, yang merupakan komponen penting dalam penalaran filsafat
berbagai mazhab dari zaman ke zaman (Semiawan, 2010: 9). Usaha para filsuf pada
zaman itu untuk menyelidiki dan menjelaskan secara rasional akar dari fenomena
alam yang diamati tidak diwarnai oleh tujuan-tujuan praktis dan pragmatis,
tetapi tampaknya hanya digerakan oleh motivasi estetis semata.
Perkembangan filsafat terus mengalami
perkembangan dari zaman ke zaman. Aristoteles salah seorang tokoh Yunani terkemuka dalam lingkup filsafat ilmu
yang merupakan pelopor utama logika deduktif yang menitikberatkan rasionalitas.
Pokok-pokok pikirannya tetap mendominasi para ilmuan di Eropa sampai zaman modern.
Memang Aristoteles bukan merupakan filsuf yang pertama apalagi satu-satunya
yang banyak memberikan sumbangan dalam pengembangan penalaran filosofis, akan
tetapi Aristoteles lah yang logikanya bertahan selama kira-kira 2000 tahun.
Selama itu pula karya-karyanya praktis tidak mengalami perubahan yang berarti.
Dari logika deduktif yang dipelopori oleh Aristoteles kemudian pada zaman
modern muncul berbagai aliran filsafat, salah satunya adalah aliran
positivisme.
Pada
dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual fisikal.
Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui
metode saintifik yang ketat yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
(Tysna, 2014: 2). Positivisme dalam pengertian di atas dan sebagai pendekatan
telah dikenal sejak Yunani Kuno. Terminologi positivisme dicetuskan pada
pertengahan abad ke-19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste
Comte.
Kecenderungan
para pemikir barat untuk melepaskan diri dari filsafat tersebut memperoleh
dukungan dari gagasan tiga tahap Auguste Comte. Menurutnya sejarah pemikiran
manusia berevolusi dalam tiga tahap (Praja, 2010: 133) yaitu:
a.
Tahap teologis (mistis) dimana
manusia memecahkan berbagai persoalan dengan meminta bantuan pada dunia Tuhan
atau dewa-dewa yang tidak terjangkau oleh manusia.
b.
Tahap filsafi atau metafisik dimana
pada tahap ini hakikat benda-benda merupakan keterangan terakhir dari semua.
c.
Tahap positivis tahap dimana dunia
fakta yang dapat diamati dengan panca indera merupakan satu-satunya obyek
pengetahuan manusia. Pada tahap terakhir inilah dunia Tuhan dan dunia filsafat
telah ditinggalkan.
3. Aliran Positivisme
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat
modern. Secara umum dapat dikatakan bahwa akar sejarah pemikiran positivisme
dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804). Hume
berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan ilmiah haruslah diuji melalui
percobaan (aliran empirisme). Dimana pengertian empirisme sendiri yaitu ilmu
pengetahuan merupakan persepsi tentang pengalaman. Menurut aliran empirisme pengalaman
indera adalah sumber pengetahuan yang benar. Bagaimanapun kompleksnya
pengetahuan manusia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Untuk
metode yang digunakan pada aliran empirisme adalah eksperimen. Sementara Kant
adalah orang yang melaksanakan pendapat Hume ini dengan menyusun Critique of pure reason (kritik terhadap
pikiran murni/aliran kritisisme). Selain itu, Kant juga membuat batasan-batasan
wilayah pengetahuan manusia dan aturan-aturan untuk menghukumi pengetahuan
tersebut dengan menjadikan pengalaman sebagai porosnya Ahmad, 2009 (dalam Tysna, 2014:2). Adapun aliran filsafat positivisme lahir
dari aliran empirisme seperti pada bagan di berikut ini.
Istilah positivisme pertama kali digunakan
oleh Saint Simon (sekitar tahun 1825). Prinsip filosofis tentang positivisme dikembangkan
pertama kali oleh seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang bernama Francis
Bacon yang hidup sekitar abad ke-17 Muhadjir, 2001 (dalam Tysna, 2014 3). Bacon
berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan
a priori akal tidak boleh menarik
kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas
hukum alam. Dari pernyataan Bacon bahwa semua ilmu pengetahuan yang berlaku
harus didasarkan pada hal-hal yang logis dan masuk akal.
Pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis.
Comte menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan
paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya
yang berjudul Course de
Philosophie Phositive atau kursus tentang filsafat positif (1830-1842),
yang diterbitkan dalam enam jilid Achmadi, 1997 (dalam Tysna, 2014: 16).
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte
bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang
terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia yang secara linier
bergerak dalam urutan yang tidak terputus. Perkembangan
itu bermula dari tahap mistis atau teologis kemudian menuju tahap metafisis dan
berakhir pada tahap positif. Pada tahap positif inilah Comte menekankan pada pengakuan
dan pembatasan pada ilmu pengetahuan yang hanya didasarkan pada fakta-fakta
logis dan empiris dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan
metode ilmiah yaitu eksperimen, observasi, dan komparasi.
Menurut Comte, segala
pengetahuan yang tidak didasarkan pada fakta-fakta positif dan pendekatannya
tidak dengan metode ilmu pengetahuan, tidak lain hanyalah fantasi atau
spekulasi liar belaka. Jenis pengetahuan yang dikatakan spekulasi atau fantasi
liar inilah yang disebutnya teologi dan metafisika. Dalam kehidupan dunia saat
ini, teori Comte memiliki pengaruh yang sangat besar. Bahkan sekarang
teori-teorinya seolah telah menjadi kenyataan praktik-praktik pada kehidupan
sosial dan politik. Dalam perkembangan kebudayaan dan keberadaan
institusi-institusi sosial.
Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis
dari teraturnya masyarakat maka jiwa dan budi haruslah mendapatkan pendidikan
yang cukup dan matang. Comte mengatakan bahwa sekarang ini sudah masanya harus
hidup dengan pengabdian ilmu yang positif yaitu matematika, fisika, biologi,
dan ilmu kemasyarakatan. Adapun yang tidak positif tidak dapat dialami dan
sebaliknya orang bersikap tidak tahu-menahu. Adapun akal budi itu mengalami tiga
tingkatan atau zaman, yaitu teologi, metafisika, dan positif. Tahap-tahap perkembangan akal budi manusia menurut
Comte adalah sebagai berikut (Soekanto, 2007: 349).
Pada tahap pertama, akal
budi manusia berada dalam lingkup teologis, yaitu ketika manusia menganggap
bahwa seluruh alam termasuk dirinya sendiri, memiliki kekuatan yang misterius.
Manusia tidak menghayati dirinya sebagai mahluk luhur dan rasional yang
posisinya di alam sebagai mahluk yang lebih tinggi daripada mahluk-mahluk yang
lain. Sebaliknya, manusia menganggap dirinya hanya bagian dari keseluruhan alam
yang diliputi oleh rahasia yang tidak terpecahkan oleh pikirannya yang
sederhana. Tahap ini dapat dijumpai pada manusia purba. Dalam tahap teologis, terdapat
3 macam cara berpikir yang berkembang.
Pertama adalah animisme.
Pada cara berpikir ini, manusia menganggap setiap benda atau mahluk merupakan
satu sosok individu yang berbeda dengan yang lain. Mereka belum mengenal konsep
umum pada mahluk-mahluk lain. Contohnya, sebuah pohon beringin di depan Keraton
Yogyakarta berbeda dengan pohon beringin di depan Keraton Solo. Setiap benda
memiliki rohnya masing-masing, misalnya keris, batu cincin, kereta kencana,
sawah, atau bahkan sebuah desa.
Cara berpikir yang kedua
adalah politeisme. Pemikiran manusia mulai menyatukan benda-benda ke dalam
kelompok-kelompok yang lebih umum. Pengelompokan tersebut didasarkan pada
kesamaan-kesamaan tertentu. Bukan lagi tiap benda mempunyai roh masing-masing,
tetapi setiap kelompok benda mempunyainya. Contohnya, sawah dihuni dan dipelihara
oleh Dewi Sri. Pemikiran ini sudah lebih maju dibanding cara berpikir yang
pertama.
Ketiga adalah monoteisme. Pada
cara berpikir ini manusia sudah menganggap hanya satu roh yang berkuasa atas
seluruh alam semesta yang disebut dengan Tuhan. Monoteisme telah melepaskan
anggapan bahwa setiap benda atau setiap kelompok benda memiliki roh-roh
tersendiri yang menghuninya. Kini seluruh benda dan mahluk dikuasai oleh satu
kekuatan saja yaitu Tuhan. Cara berpikir ini memiliki pengaruh yang besar pada
perkembangan budaya, sosial, dan pemerintahan. Monoteisme memungkinkan
berkembangnya dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan pedoman hidup
masyarakat.
Pada tahap ini, akal budi
manusia mulai merombak cara berpikir yang lama yang dianggapnya tidak mampu
lagi memenuhi keinginan manusia dalam menemukan jawaban yang memuaskan tentang
kejadian alam semesta. Manusia kini mulai mencari penerangan yang logis dan
berusaha keras mencari hakikat atau esensi dari sesuatu. Untuk itu, dogma agama
dan irasionalitas mulai ditinggalkan dan analisis perlu dijadikan dasar
pemikiran. Namun, tahap metafisis pada prinsipnya hanya suatu bentuk modifikasi
artifisial saja dari tahap teologis. Dapat dikatakan tahap ini hanyalah tahap
peralihan. Tahap teologis dan tahap metafisis (tahapan filsafat) sama-sama
mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Perbedaan keduanya
terletak pada cara menerangkan kenyataan. Alam yang semula berasal dari
dewa-dewa atau Tuhan, kini diterangkan dengan konsep-konsep abstrak, seperti
kodrat, kehendak Tuhan, roh absolut, tuntutan hati nurani, keharusan mutlak,
kewajiban moral, dan lain sebagainya. Konsep-konsep itu hanya pengandaian tanpa
dasar ilmiah. Tahap metafisis tidak memberi informasi baru, melainkan nama baru
dari konsep lama. Pada
fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman
metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi.
Comte menjelaskan
perumpamaan jika kita sebagai anak maka ketika kecil kita menjadi teolog,
sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika, dan sebagai orang dewasa kita
menjadi ahli hukum alam. Pada tahap positif, kita dianggap sebagai orang
dewasa, bahwa semua gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan
observasi, eksperimen, dan komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian
alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisis. Akal tidak lagi berorientasi
pada pencarian pada sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan. Comte pun
menjelaskan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif, yaitu di dalam dirinya
sendiri mengandung alat untuk mencapai, baik kemajuan (progress) maupun ketertiban (order).
Comte menyatakan bahwa kemajuan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan akan
membawa manusia menuju masyarakat yang tertib, stabil, aman, dan harmonis.
Dengan kata lain, tanpa agama dan metafisika, ilmu pengetahuan akan dengan
sendirinya membawa moralitas dan humanisme dalam kehidupan. Selain itu, ilmu
pengetahuan juga mampu mencegah kita dari nafsu untuk berperang dan melakukan
penindasan terhadap manusia dan alam.
Zaman ini dianggap Comte
zaman tertinggi dari kehidupan manusia. Alasannya adalah karena pada zaman ini
tidak ada lagi usaha manusia untuk mencari penyebab-penyebab yang terdapat pada
di belakang fakta-fakta (Praja, 2010: 135). Manusia kini telah membatasi diri
dalam penyelidikannya pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya. Atas dasar
observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia berusaha menetapkan
relasi-relasi atau hubungan-hubungan persamaan dan urutan yang terdapat antara
fakta-fakta. Pada zaman terakhir inilah dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti
yang sebenarnya.
Melihat besar dan luasnya
manfaat ilmu pengetahuan, maka teologi dan metafisika dengan sendirinya harus
mundur secara perlahan. Tempat-tempat ibadah, sekolah teologi, dan fakultas
filsafat harus dialihfungsikan menjadi universitas, pasar, bank, dan pabrik,
yang kesemuanya itu merupakan produk-produk unggulan akal budi manusia. Rohaniawan,
teolog, dan filsuf harus menyerahkan jabatannya pada para ilmuwan,
industriawan, usahawan, pedagang, dan pialang. Pandangan hidup yang awalnya
didasarkan pada dogma-dogma agama,sekarang beralih digantikan oleh ilmu
pengetahuan positif yang masuk akal.
Menurut Comte, masyarakat
harus diteliti atas dasar fakta-fakta objektif dan juga menekankan pentingnya
penelitian-penelitian perbandingan antara berbagai masyarakat yang berlainan.
Hasil karya Comte yang terutama adalah the
scientifict labors necessary for the reorganization of society (1822), the positive philosophy (6 jilid 1830 –
1840), dan subjective synthesis (1920
– 1903) (Soekanto, 2007: 350).
4. Perkembangan
Positivisme
Positivisme adalah
suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik.
Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana
untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme
khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme yang
dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena
pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk,
maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Terdapat
tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu: tempat utama
dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun
perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte
dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E.
Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. Munculnya tahap kedua
dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun
1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan
pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif yang merupakan suatu
ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan
ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan
subjektivisme. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan
dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank,
dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap
ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan
sejumlah aliran seperti atonimismelogis, positivisme logis, serta semantika.
Pokok bahasan positivisme tahap ketiga diantaranya tentang bahasa logika
simbolis struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
A. Positivisme Logis
Dalam
perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi
hingga muncullah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang
tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina. Wattimena
(2008) Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang
membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan
atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis
ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Tujuan
akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini
adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem
yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan
perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika
dianggap sebagai ilmu-ilmu formal. Positivisme berusaha menjelaskan
pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa
observasional, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengkaitkan keduanya.
Tekanan positivistik menggaris bawahi penegasannya bahwa hanya bahasa
observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara
pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai
pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan
kaidah-kaidah korespondensi.
B. Auguste Comte
Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore
Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan
pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan
Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique
di Paris. Masa pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun,
antara 1814-1816. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada pemikiran Comte
selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte mulai meyakini kemampuan dan
kegunaan ilmu-ilmu alam. Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan
kemudian menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte diusir dan
hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini bertahan hingga setahun
sebelum kematian Saint-Simon pada 1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau
diakui pengaruh intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya pengaruh
ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara mereka berdua.
Kaum positivis percaya bahwa masyarakat
merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat
dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan Wattimena
(2008). Aliran ini tentunya mendapat
pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari
revolusi Perancis. Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin
terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini
dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan. Pada saat Comte
tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang
filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe
(Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat) Wattimena (2008). Tapi
kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul
bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.
Comte berpendapat bahwa indera itu amat
penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu
dan diperkuat dengan eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang
jelas. Kebenaran diperoleh dengan akal didukung bukti empiris yang terukur.
’Terukur’ itulah sumbangan positivism Wattimena (2008). Jadi, pada dasarnya
positivisme itu sama dengan empirisme dan rasionalisne (lihat bagan di atas). Comte
banyak mengikuti warisan pemikiran Hume dan Kant. Melalui tulisan dan
pemikirannya, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan
perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia
beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif.
Pada fase teologis diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua
gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode:
animisme, politeisme dan monoteisme. Selanjutnya pada zaman metafisis kuasa
adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti
‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Dan akhirnya pada masa positif manusia telah membatasi
diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas
dasar observasi dan kemampuan rasio. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat
yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Menurut
Wattimena (2008) metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1)
Metode
ini diarahkan pada fakta-fakta
2)
Metode
ini diarahkan pada perbaikan terus-menerus dari syarat-syarat hidup
3)
Metode
ini berusaha kearah kepastian
4)
Metode
ini berusaha kearah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana
bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Tiga
yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis
khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang
menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
5. Cara Pandang Positivisme
Salah satu wujud dalam upaya memahami ilmu
pengetahuan dari segi elemen epistemologis dalam filsafat ilmu adalah mencoba
mengetahui bagaimana teori dikonstruksi. Secara esensial elemen epistemologis
berarti suatu upaya ilmu pengetahuan dalam memahami cara-cara ilmiahnya dalam
rangka memperoleh kebenaran ilmiah melalui riset terhadap obyek formalnya.
Positivisme adalah suatu paham falsafati
dalam alur tradisi pemikiran saintisme yang mengedepan sejak abad-abad ke
16-17. Apa yang kemudian disebut saintisme (science
scire = pengetahuan) ini pertama-tama marak di kalangan para ahli astronomi
dan fisika yang kemudian juga di berbagai cabang ilmu pengetahuan yang lain,
bahkan juga yang berkonsentrasi di bidang persoalan kemasyarakatan dan hukum.
Positivisme dengan nama dan dalam bentuk lain
telah lama dikenal dalam kehidupan intelektual manusia di Barat. Menurut
(Wignjosoebroto, 2012: 1) Comte yang melanjutkan ide Madame de Stael dan Henry
Saint-Simon ke tahap pemikiran yang lebih bermakna, menuliskan bagaimana metode
sains dapat juga didayagunakan untuk mengkaji fenomen sosial. Comte yang
berlatarbelakang sarjana matematika dan fisika menyatakan keyakinannya bahwa
konsep dan metode ilmu pengetahuan alam (yang dipakai untuk menjelaskan
hubungan sebab-akibat antar-benda anorganik yang mati) dapat juga dipakai untuk
menjelaskan alam kehidupan kolektif manusia (yang seabad kemudian oleh Kroeber
dikatakan berada pada tataran supraorganik). Untuk keyakinannya itulah maka
dalam dunia sains, Comte secara tepat atau tidak acap digelari bapak sosiologi.
Hanya pengalamanlah yang dapat menentukan
pemikiran seseorang dan bukan faktor-faktor internal seperti bakat,
kecenderungan, kemampuan, ataupun hereditas yang dibawa secara fitri. Aliran
positivisme memandang bahwa pengalaman sebagai dasar bagi metode ilmiah. Oleh
karena itu, hal-hal internal yang tidak dapat dijangkau secara akal atau berada
diluar akal, tidak menjadi perhatian kaum positivis. Para positivis menentang
ilmu metafisika yang gaib, apa yang berada di luar batas pengalaman manusia.
Mereka menganggap metafisika sebagai tidak ada artinya bagi ilmu pengetahuan,
sebab metafisika menarik diri dari tiap usaha untuk verifikasi, kebenaran atau ketidakbenaran
pendirian yang tidak dapat ditetapkan.
Bagi seorang positivis sumber kebenaran
bukanlah logika melainkan pengalaman. Bahkan kemudian ada yang menganggap bahwa
ilmu bertolak pada observasi (Semiawan, 2010: 48). Disinilah kemampuan indera
seseorang diuji kepekaannya agar dapat memahami apa yang terjadi di sekitarnya.
Kalau sesuatu itu bukan lagi kajian ilmu, penelaahan sendi-sendi keilmuan yang
secara aklamasi sudah diterima sebagai aksioma oleh kaum ilmuwan dalam
melaksanakan pekerjaannya dan inquery mengenai
metode ilmiah yang sudah baku, terletak diluar kajian ilmu dan arena itu
disebut metafisika. Ke dalam metafisika termasuk juga antara lain agama dan
filsafat yang secara ontologis terletak di luar kapling ilmu.
Oleh karena, para positivis telah mengucapkan
selamat tinggal pada ”dunia dewa” dan ”dunia hakekat”, karena dianggap tidak
rasional. Pada tahap ini aliran positivisme telah ”membuang” filsafat. Wilayah
metafisika dan hakikat menjadi obyek pemikiran filsafat melalui
kontemplasi-spekulasi, yang tidak dapat didekati dengan indera-indera kaum
positivis. Oleh karena itu, sebagai akibatnya positivisme hanya bersandar pada
prinsip-prinsip berikut ini (Najwan, 2011: 20).
a)
Hanya
apa yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar. Prinsip ini diambil dari
filsafat empirisme Locke dan Hume.
b)
Hanya
apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat dipastikan
sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti tidak semua pengalaman dapat
disebut benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati kenyataan.
c)
Hanya
melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang dialami
merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.
Oleh karena itu, semua kebenaran didapatkan
melalui ilmu-ilmu pengetahuan, maka tugas filsafat tidak lain dari pada
mengumpulkan dan mengatur hasil penyelidikan ilmu-ilmu pengetahuan. Menurut
(Najwan, 2011: 21) prinsip-prinsip aliran positivisme ini selanjutnya
mendasarinya kepada sains modern (sekuler) yang dikembangkan Barat. Sains
modern bersandar pada empat premis, yaitu:
1)
Dunia
itu ada;
2)
Manusia
dapat mengetahui dunia;
3)
Manusia
mengetahui dunia melalui panca indera; dan
4)
Fenomena-fenomena
di dunia terkait secara kausalitas (sebab akibat). Secara metodologis,
positivisme meyakini sepenuhnya pada empat dalil ’keilmuan’, orde,
determinisme, parsimoni, dan empirikal.
Alam semesta memiliki tata aturan tertentu.
Peristiwa-peristiwa di dunia ini mengikuti urutan yang teratur (orde). Setiap
peristiwa yang terjadi pasti mempunyai sebab, determinan, atau anteseden
(pendahuluan) yang dapat diamati (determinan). Berbagai Fenomena, kejadian,
atau peristiwa dapat dijelaskan secara
sederhana (parsimoni). Fenomena-fenomena dapat diobservasi dan dieksperimen
(empirikal) Jallaludin (dalam Najwan, 2011: 21).
Adapun fungsi filsafat positivisme yaitu:
a)
Perkembangan
yang diberi konotasi sebagai kemajuan memberikan maka bahwa positivisme telah
mempertebal optimisme. Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang positif dan
terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif atau dari hukum-hukum yang umum.
Berkat pandangan positivisme seseorang tidak sekedar menghimpun fakta, tapi ia
berupaya meramal masa depan yang antara lain turut mendorong perkembangan
teknologi.
b)
Kemajuan
dalam bidang fisik telah menimbulkan berbagai implikasi dalam segi kehidupan.
Dengan kata lain, fungsi filsafat positivisme ini berperan sebagai pendorong
timbulnya perkembangan dan kemajuan yang dirasakan sebagai kebutuhan.
c)
Dengan
adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi rasional ilmiah, maka
berfungsi pula kemampuannya untuk menerangkan kenyataan sedemikian rupa
keyakinannya akan kebenaran semakin terbuka Adi, 2012 (dalam Tysna, 2014:
11).
Positivisme adalah salah satu doktrin dalam
filsafat ilmu yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat dibangun melalui
observasi terhadap kenyataan-kenyataan empiris. Pengetahuan demikian semua
didasarkan pada data empiris yang dihasilkan melalui metode saintifik (metode
ilmiah). Model epistemologi yang digagas oleh Auguste Comte tersebut
mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai
dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial (Tysna, 2014: 13).
Ilmu sosial yang mencoba memahami sifat
manusia akan mengalami kesulitan ketika akan membuat ukuran yang pasti dan
tetap. Sifat manusia selalu berubah, tindakannya tidak bisa diprediksi dengan
satu penjelasan yang mutlak dan pasti.
Dengan pengetahuan mengenai aspek dimaksud diharapkan bisa menjadi salah
satu cara yang dapat mengurangi ketidakidealan dalam proses pelaksanaan riset
(Tysna, 2014: 13).
Untuk dapat membuat perbandingan antara
positivisme dalam ilmu alam dan ilmu sosial dengan baik, maka perlu dilakukan
uraian terhadap cara pandang keduanya. Cara pandang keduanya perlu diungkap
sebab cara pandang inilah yang menuntun bagaimana sebuah fenomena alam dan
fenomena sosial seharusnya dipandang. Dengan memahami dasar pandangan yang
dilontarkan kaum positivisme sebagaimana dikemukakan di atas, maka pertanyaan
pentingnya adalah apakah positivisme dalam ilmu alam memang sama dengan
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial? (Tysna, 2014: 15).
a. Positivisme Ilmu Alam
Dalam ilmu alam terdapat hukum-hukum yang
pasti dan umum serta sifat hukum tersebut berlaku dimanapun dan kapanpun.
Maksud dari definisi tersebut menyatakan bahwa hukum-hukum ilmu alam untuk
mendapatkan kebenaran bisa digunakan oleh
bidang lain tanpa tertolak oleh bidang-bidang yang khusus, karena
bersifat umum. Jadi ilmu sosial bisa menggunakan hukum-hukum ilmu alam dalam
mencari kebenaran tentang suatu penelitian. Contoh, ilmu geografi selain
mempelajari manusia geografi juga mempelajari tentang peta pembagian daerah
bumi serta keadaan alam di sekitarnya melalui hukum-hukum alam, yaitu daerah
yang dilintangi garis khatulistiwa memiliki iklim tropis, keberadaan
khatulistiwa adalah hukum geografi cabang ilmu sosial sedangkan sebab-sebab
iklim dikatakan tropis adalah ilmu biologi cabang ilmu alam.
Positivisme yang merupakan salah satu akar
dari filsafat modern merupakan suatu paham yang hanya menerima ilmu kealaman
sebagai satu-satunya ilmu yang benar. Paham ini menuntut adanya logika, bukti,
dan ukuran yang jelas pada setiap hal yang ada untuk dinyatakan sebagai suatu
ilmu. Teori-teori ilmu alam dibangun melalui ekperimentasi laboratorium. Jika
kondisi laboratoriumnya sama dan dapat dikontrol secara ketat maka teori yang
tercipta dapat berlaku secara universal. Positivisme menempatkan metode ilmiah
eksperimental sebagai satu-satunya metode dan bahasa keilmuan yang universal
sehingga segala pengetahuan yang tidak dapat diverivikasi oleh metode itu
dianggap tidak bermakna apa-apa.
b. Positivisme Ilmu Sosial
Ilmu sosial adalah sekelompok disiplin
akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan
lingkungan sosialnya. Sedangkan ilmu alam adalah ilmu yang objek penelitiannya
adalah tentang benda-benda alam, dengan hukum-hukum yang pasti dan umum dimana
sifat hukum itu berlaku dimanapun dan kapanpun. Positivisme dalam ilmu sosial
dapat dicari asal pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte adalah orang
pertama yang menggunakan istilah sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi
meniru model ilmu-ilmu alam seperti fisika. Auguste Comte berpendapat
positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
Filsafat positivisme semakin kuat mendapat
pondasi positivismenya dalam ilmu sosial melalui Aguste Comte (1798-1857) yang
sebagian kalangan menobatkannya sebagai bapak sosiologi karena temuannya dalam
ilmu sosiologi. Positivisme ilmu sosial mengandaikan suatu ilmu yang bebas
nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan moralitas. Semangat ini
menyajikan pengetahuan yang universal, terlepas dari soal ruang dan waktu
(Setiadeni, 2011: 9). Sosiologi Comte menandai positivisme awal dalam ilmu sosial
mengadopsi saintisme ilmu alam yang menggunakan prosedur-prosedur metodologis ilmu
alam dengan mengabaikan subjektifitas. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat
bagian dari alam dan metode-metode empiris dapat dipergunakan untuk menemukan
hukum-hukumnya.
Menurut (Setiadeni, 2011: 10) dalam
pengumpulan data ada empat cara yang diperkenalkan Comte, yakni observasi,
eksperimen, perbandingan, dan analisis historis. Positivisme Comte selalu
berisi garis dasar advokasi, science
superior dari sistem pemikiran lain dalam memperbaiki struktur dan dinamika
masyarakat. Hukum dari dinamika ini bisa menyediakan alat-alat untuk
merekonstruksi masyarakat. Herbert Spencer sepakat dengan Comte yang menyatakan
ilmu pengetahuan berasal dari observasi fakta. Positivisme Spencer dapat
diaplikasikan ke dalam dua komponen: metodologi dan substantif. Menurut
Spencer, fakta-fakta sosial yang diinduksikan dari data yang tersedia di
beragam populasi dan analisis superorganiknya komparatif menunjukkan tipe
masyarakat yang berbeda.
Positivisme berupaya menjadikan ilmu sosial
sebagai ilmu yang memiliki tingkat saintifik tinggi. Jalan yang ditempuh adalah
dengan penelitian sosial secara kuantitatif dan menggunakan eksperimen, survei,
serta data-data statistik dalam pengumpulan data. Di sini kaum positivis
memisahkan science dan common sense dengan tegas. Science dengan
teknik dan metodologi ilmiahnya dapat menghasilkan pengetahuan valid yang
memiliki tingkat kepercayaan tinggi. Sementara, common sense tidak akan bisa menghasilkan pengetahuan ilmiah.
Sejalan dengan itu, positivisme juga mengharuskan peneliti atau ilmuwan
obyektif dan bebas nilai tidak dibayangi ideologi yang dianutnya.
Penganut paham positivisme meyakini bahwa
hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian
juga alam. Maka dari itu karena adanya sedikit perbedaan, dan itupun perbedaan
tersebut masih diragukan, membuat paham positivisme menyatukan ilmu-ilmu dalam
aturan-aturan yang sama. Aturan-aturan tersebut dikembangkan oleh ilmu alam,
karena ilmu alam mengikuti alur hukum alam tanpa ada alur pemikiran manusia, sehingga
illmu sosial mengikuti aturan-aturan ilmu alam yang dijadikan sebagai
aturan-aturan umum dari kedua ilmu.
Setidaknya ada tiga pengandaian dalam
ilmu-ilmu sosial positivis. Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari
ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua,
hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam
ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu
menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas
nilai Anthony Giddens, 1975 dalam Tysna, 2014: 17).
Selanjutnya para ilmuan yang tidak sependapat
dengan positisvisme Comte mengemukakan bahwa logika ilmu sosial sangat berbeda dengan
ilmu alam. Obyek ilmu sosial tidak seperti obyek pengetahuan alam yang
cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan
variabel di luarnya. Relasi tersebut cenderung tetap. Berbeda dengan kajian ilmu
sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di
luarnya. Dari pernyataan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan antara
pendekatan ilmu alam dan ilmu sosial yang ternyata berbeda. Ilmu sosial tidak
dapat disamakan dengan ilmu sosial karena sifatnya alam yang relatif tetap
tidak berubah sedangkan ilmu sosial terutama mengenai masyarakat cenderung
berubah-ubah dari waktu ke waktu.
6. Positivisme Dalam Geografi
Positivisme adalah aliran dari filsafat yang
menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik atau ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan hal-hal yang non fisik atau tidak kelihatan. Dalam hal ini
positivisme tidak mengenal adanya spekulasi tapi harus berupa data empiris. Positivisme
merupakan empirisme yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam
satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Menurut Wibisono 1983 (dalam Tysna, 2014: 10)
aliran filsafat positivisme menggunakan metode pengamatan, percobaan dan
perbandingan, kecuali dalam menghadapi gejala dalam fisika sosial digunakan
metode sejarah. Pengamatan digunakan untuk mempelajari astronomi kesemuanya
karena berkaitan dengan ukuran waktu. Adapun untuk ilmu fisika disamping
pengamatan juga digunakan percobaan. Dalam mempelajari ilmu kimia disamping
percobaan dan pengamatan digunakan juga metode peniruan (artifisial). Dalam
ilmu biologi menggunakan metode percobaan yang disesuaikan dengan
kompleksitasnya gejala dan yang terakhir sosiologi digunakan pengamatan,
percobaan, dan perbandingan, dan bahkan metode sejarah ini digunakan untuk
menguraikan gejala-gejala yang kompleks.
Geografi pada awal perkembangannya cenderung
idiografis bergeser ke nomothetik meskipun sampai saat ini kedua paradigma
tersebut diterapkan secara berdampingan. Terjadinya revolusi kuantitatif dengan
paham positivistik yang banyak digandrungi ilmu dengan objek material alam juga
melanda geografi dalam analisisnya ke arah nomothetik. Verifikasi kebenaran
pasca revolusi kuantitatif menuntut pembuktian melalui kuantifikasi sehingga
geografi dengan objek geosfer sering terjebak didalamnya Kitchin dan Tate (2000).
Paparan fenomena antroposfer diterjemahkan dalam verifikasi kuantitatif karena
dianggap lebih dapat menjelaskan dalam menganalisa rangkaian fenomena geosfer. Apabila
seluruh fenomena antroposfer harus dijelaskan secara kuantitatif dapat menjadi
suatu kesulitan. Pasca revolusi kuantitatif model pendekatan kualitatif
dianggap kurang pas untuk pemaparan dan pemecahan masalah antroposfer. Meskipun
demikian banyak aspek kajian dalam geografi yang sampai saat ini masih diyakini
sebagai sebuah kebenaran justru diperoleh dengan model verifikasi kualitatif
Kitchin dan Tate (2000).
Sejak akhir tahun 70-an pendekatan kualitatif
mulai ditinjau kembali dan dipergunakan oleh ahli geografi manusia seperti
Relph, Yi Fu Tuan, Mercer, Power, dan Buttimer dengan filosofi fenomenologi dan
eksistensialis untuk menjelaskan fenomena geosfer (Peet,1998). Pendekatan
kualitatif dianggap lebih mampu untuk mengungkapkan fenomena perilaku manusia
dengan segala aktifitas kehidupannya di muka bumi yang sulit diterjemahkan
secara mendalam dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Mengidentifikasi
maupun menerapkan konsep dan teori geografi dengan pendekatan kualitatif
mengawali kerangka pemikiran geografi sosial. Geografi sosial dengan paradigma
determinisme, posibilisme, dan probabilisme mulai dilakukan dengan pengamatan
kualitatif. Dalam pengembangan teori dan konsep geografi pendekatan ini lebih
banyak menjadi prinsip dasar pemikiran untuk mencapai tujuan, merumuskan
masalah, hingga menentukan jawaban sementara tentang aktifitas manusia dalam
hubungan dengan lingkungan di muka bumi ini.
Kajian geografi dalam pengumpulan fakta
empiris guna membangun teori diperlukan paradigma yang dapat dijadikan landasan
membuat definisi operasional dan memformulasikan konsep maupun teori serta
metodologi Kitchin dan Tate (2000). Kombinasi pendekatan kuantitatif dan
kualitatif dapat dipadukan sesuai dengan objek material geografi yang memadukan
antara fenomena alam dan manusia dengan segala peradaban dan perilaku serta
aktifitasnya. Hal ini berarti sependapat dengan apa yang dijelaskan oleh Comte
yaitu mempersandingkan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Upaya menemukan
variasi model pendekatan tersebut menjadi tantangan yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan geografi
sebagai ilmu yang khas yakni kemampuan memadukan secara selaras antar fenomena
geosfer. Geografi dalam paradigma tradisional yaitu eksplorasi, environ-mentalisme,
maupun regionalism, dan paradigma kontemporer yaitu paradigma dengan analisis
keruangan, kelingkungan dan kewilyahan Dear dan Flusty (2002).
Eksplorasi menandai awal perkembangan
geografi yang menekankan deskripsi, identifikasi dan klasifikasi kajian fakta
lapangan, tentu saja fase ini masih diliputi dengan keterbatasan teori
geografi. Environmentalis menekankan
peran lingkungan fisik terhadap pola kegiatan manusia yang memunculkan analisis
morfometrik dan hubungan kausalitas. Regionalisme memunculkan konsep regional sebagai
dasar pengenalan ruang geografi kontemporer memperhatikan analisis keruangan
lebih bersifat nomotetik dengan meletakan dasar tentang keteraturan pola,
struktur, dan proses Bintarto dan Surastopo (1987). Perkembangan geografi tidak
dapat meninggalkan secara penuh paradigma terdahulu sehingga paradigma
tradisional dan kontemporer diterapkan bersama dalam kajian geografi. Cara pandang
tersebut diharapkan akan membantu dinamika perkembangan geografi sebagai satu
disiplin ilmu.
Geografi mengkaji hubungan manusia dengan
alam menggunakan analisa keruangan, kelingkungan, dan kewilayahan dalam
pengembangan teori yang dijadikan dasar pemikiran untuk merespon dinamika di
muka bumi. Pengembangan geografi melalui penerapan pendekatan secara empiris
merupakan pengkajian lanjut epistimologi geografi yang banyak digunakan melalui
penelitian.
Pendekatan positivistik dalam geografi dengan
dikenalkannya nomotetik pada analisa fenomena geosfer yang perlu dibuktikan
dengan pengumpulan data dan pengukuran obyek material dengan pengujian
hipotesis merupakan katalisator perubahan tata kerja geografi. Pendekatan
positivistik dalam geografi menggunakan bantuan statistik, matematik, dan
komputer yang melahirkan metode sistem informasi geografis bersifat nomotetik Kitchin
dan Tate (2000). Pendekatan ini mempengaruhi geografi terutama untuk
menjelaskan kausalitas dan proses keruangan melalui metode verifikasi dan perkembangan
geografi sebagai ilmu sintesa.
Pendekatan humanistik mendasarkan
subyektivitas dan individual melalui telaah ontologi dalam penalaran tentang
keberadaan obyek kajian yang menekankan hakekat kebenaran berdasar pemikiran
dan penalaran manusia. Pendekatan humanistik dengan idealisme, pragmatisme,
fenomenologi, dan eksistensialisme digunakan oleh para ahli geografi untuk
menemukan konsep dan teori yang bersifat humanis. Idealisme mengandung makna
semua di muka bumi mempunyai kaitan sebab akibat baik secara langsung atau
tidak langsung melahirkan teori yang bersifat subyektif dan individu. Pragmatisme
menekankan pengetahuan bergantung pada fungsi penelitian secara detail, praktis,
dan bermanfaat. Fenomenologi merupakan filsafat dengan penganalisaan terhadap
objek muka bumi secara mendalam dengan mencoba mengenali dan memahami secara
praktis. Kajian geografi menggunakan pendekatan fenomenologi yang membahas
aspek manusia sebagai subyek sosial memiliki nilai esensi dalam penelitian yang
terkait dengan fenomena sosial di suatu tempat, lokasi atau ruang di muka bumi Kitchin
dan Tate (2000).
Geografi kontemporer dalam aliran postmodern
berdasarkan pada pendekatan lokasi dan ruang baik secara vertikal maupun
horizontal Dear (2002). Paradigma postmodern mulai diperkenalkan untuk
pemahaman geosfer dalam kajian geografi pasca 80-an. Memusatkan perhatian pada cultural landscape dan place making, economic landscape secara
fleksibel dalam skala global dan lokal, pengembangan filosofi dan teori yang
dianggap masih memerlukan penguatan sesuai filsafat geografi mengiringi
pendekatan positivisme. Bentuk lain dalam geografi adalah yang
mempertanyakan geografi itu (dalam pengertian terbatas pada geografi
regional) dapat digolongkan sebagai ilmu atau tidak manakala kriteria yang
dipakai berdasarkan pandangan positivisme dalam ilmu. Pertanyaan
kontroversi ini timbul khususnya setelah muncul ketidakpuasan para ahli
geografi mutahir terhadap kemampuan geografi regional untuk mengatasi
permasalahan kehidupan yang semakin kompleks dan cepat berubah.
Perkembangan atau perubahan disiplin ilmu
menyangkut di satu pihak adanya ketidakpuasan pada paradigma yang ada dan
di lain pihak timbulnya upaya penyediaan alternatif lain. Perubahan atau
penggantian tidak selalu berjalan dengan lancar, karena masing-masing
paradigma memiliki sejumlah pendukungnya. Hal yang demikian itu dapat menyangkut
juga persoalan isi, metode, atau sasaran utama studi disiplin ilmu yang
bersangkutan. Ada kalanya dua paradigma yang saling bertentangan (dalam
arti tidak memuaskan bagi pihak yang lain) berjalan bersama untuk waktu
yang cukup lama.
Ilmu positivis merupakan proses konservatif,
yaitu dengan mengakumulasikan pengetahuan sepanjang jalur yang telah
ditentukan. Tetapi ada kalanya diperlukan pendobrakan (pemutusan) jalur
konservatif, yaitu untuk mendapatkan pengelihatan baru dalam menangani masalah dalam
konteks kerangka teoretik yang berbeda. Perangkat proposisi awal yang berbeda
diperlukan untuk mengarahkan deduksi baru yang mungkin memerlukan juga
metodologi baru sebelum ia sempat diuji.
Menurut Dear (2002) di antara ilmu-ilmu
sosial, geografi manusia tergolong paling akhir yang mengadopsi pendekatan
positivis. Hal yang demikian ini disebabkan antara lain oleh:
- Lemahnya
hubungan dengan ilmu-irmu sosial,
- Kaitan utamanya
dengan ilmu alami melalui geografi fisis (dalam geologi positivisme ilmu
tidak cukup dominan),
- Dasar yang kuat
dalam humaniora dan filsafat eksepsionalis Hartshorne yang menghasitkan
keunikan kawasan muka bumi sebagai sasaran studi.
Sejak kapan tepatnya geografi menerima
pendekatan positivisme belum ada kejelasan hingga saat ini. Tetapi pendekatan
itu mulai menyebar ke berbagai lembaga (perguruan tinggi dan akademi) di
Amerika serikat pada pertengahan dan akhir dasawarsa 1950-an. Alasan penerimaan
pendekatan positivis bermacam-macam dan tak mudah diketahui dengan jelas.
Secara akademik dan sosial ilmu dapat menimbulkan penghargaan. Para ahli
geografi juga menginginkan bahwa pengetahuannya dipandang lebih ilmiah dan
dapat berguna bagi kehidupan sehingga perlu ada peningkatan mutu ilmu dan
martabatnya.
Apapun yang menjadi daya tarik untuk menerima
pendekatan positivis, meluasnya penerimaan pendekatan itu tidaklah berkaitan
sepenuhnya dengan sistem pendidikan geografi. Kenyataannya program pendidikan geografi
masih jarang yang dilengkapi dengan mata pelajaran filsafat ilmu atau metode
ilmiah maupun mata pelajaran serupa yang sangat diperlukan untuk mendukung
konsep positivisme ilmu. Istilah-istilah hukum, model, teori, dan hipotesis
memang semakin meluas yang dipakai, tetapi kesan umum yang ada mengenai
perkembangan saat itu barulah sampai pada apresiasi yang belum menyeluruh
terhadap argumentasi positivis.
Penerimaan pendekatan positivisme ilmu telah
memudarkan pandangan orang terhadap geografi regional. Ketidakpuasan akan
geografi regional telah membawa orang pada pertanyaan apakah pendekatan
regional dapat memadai secara akademik untuk memungkinkan adanya spesialisasi
atau pengkhususan secara sistematik ke dalam geografi. Freeman mengemukakan
tiga hal yang menjadikan orang kurang setuju pada pendekatan regional, yaitu:
a.
Kenyataan
bahwa klasifikasi regional yang demikian banyak atas muka bumi adalah bersifat
naif (kekanak-kanakan), karena kalau orang menyelidiki secara lebih terperinci
akan tampak demikian banyak kekurangan atau kelemahannya.
b.
Dengan
geografi regional orang cenderung mencakup terlalu banyak hal, baik aspek fisis,
kehidupan sosial budaya dan lain-lainnya.
c.
Model
penulisan regional yang berasal dari Perancis (Vidal de la Blache) menyarankan
bahwa muka bumi dapat dibagi-bagi atas ”region-region” yang jelas, suatu hal
yang dalam kenyataannya sangat sukar dilihat dalam perwujudan yang sebenarnya.
Tantangan atas faham regional bahkan
menyangkut juga metodologi dan filsafat geografi yang menyinggung juga
persoalan kedudukan geografi sebagai ilmu atau bukan ilmu. Kontroversi yang
cukup nyata berlangsung di Amerika, dimana Hartshorne telah mempublikasikan
pernyataan paradigma regionalnya. Penentang pertamanya muncul dengan adanya
tulisan Schaefer (1996) yang diterbitkan kemudian setelah penulisnya meninggal.
Schaefer (1996) berpendapat bahwa tugas
pertama geografi (manakala menerima filsafat dan metodologi positivisme ilmu)
ialah memberi kerangka hakikat ilmu dan mendefinisikan karakteristik geografi
sebagai ilmu sosial. Menurutnya, dalam geografi keteraturan-keteraturan yang
dilukiskan menyangkut pola-pola keruangan. Maka geografi sebagai ilmu hendaknya
berkepentingan untuk merumuskan hukum-hukum yang mengatur distribusi keruangan
fenomena tertentu di muka bumi. Tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lain (tidak
bersifat eksepsionalis) baik ilmu alami atau ilmu sosial, prosedur dalam
geografi menuntut langkah-langkah observasi yang mengarah pada perumusan
hipotesis (tentang interelasi dan pola keruangan) yang selanjutnya memerlukan
pengujian pada sejumlah kasus agar dengan demikian didapatkan materi untuk
suatu hukum yang teruji. Menurut Schaefer, tanpa filsafat dan metodologi ilmu,
geografi dan sejarah tidak dapat dipandang sebagai ilmu.
Simpulan
Filsafat positivisme merupakan filsafat
dimana menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris, sehingga
apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan dengan fakta
yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam kaitannya filsafat positivisme pada
pendidikan di Indonesia mengarahkan kepada hal yang baik, baik dari segi intelektual
dan memiliki daya analisis dari sesuatu. Sebagai contoh ketika dalam sebuah
materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk
berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu
terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreatif yang dapat
berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya
saing.
Geografi sebagai suatu bidang studi atau
sebagai bidang ilmu pengetahuan, tidak memiliki sifat dan kedudukan yang
dikotomi antara ilmu pengetahuan murni dengan ilmu terapan atau ilmu
pengetahuan alam dengan ilmu pengetahuan sosial. Berdasarkan wilayah studinya
yang luas, geografi dapat dikatakan sebagai bidang ilmu pengetahuan (murni,
terapan, eksak, non-eksak, alam dan terakhir sosial).
Daftar Pustaka
Bintarto, R. dan Hadisumarno, Surastopo. 1987. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Davis, K.E. Near
& Dear. 2002. Friendship & Love
Compare. Psychology Today. Februari.
Kitchin Rob and
Nicholas J. Tate. 2000. Conducting
Research in Human Geography: Theory, Methodology, and Practice, Harlow: New
York: Prentice Hall.
Najwan, Johni. 2011. Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum. Makalah.
Nurjuman,
Husnan. 2009. Peran Filsafat Dalam
Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Power Point Materi
Kuliah.
Praja, Juhaya. 2010. Aliran-Aliran Filsafat Dan Etika. Jakarta. Kencana Media.
Semiawan, Conny dkk.
2010. Dimensi
Kreatif Dalam Filsafat Ilmu.
Bandung.
PT. Remaja
Rosdakarya.
Setiadeni. 2011. Konsep Pendidikan Positivisme. Makalah Online Diakses 6 April 2016.
Scheaffer, Richard L,
William Mendenhall, and Lyman Ott. 1996. Elementary
Survey Sampling, California: Wadsworth Publishing Company.
Soekanto, Soerjono
2007. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada.
Suharyono dan Amien,
Moch. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga
Kependidikan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan.
Sumaatmadja, Nursid.
1988. Studi
Geografi Suatu Pendekatan Dan Analisa Keruangan. Bandung. Alumni.
Surajiyo. 2009. Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar.
Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Tysna, Ade. Wahyu.
2014. Positivisme. Makalah. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik. Universitas Serang Raya.
Wattimena Reza. 2008. Positivisme
Dan Perkembangannya. Handout Kuliah
Filsafat Ilmu. Universitas Atma Jaya. Jakarta.
Wignjosoebroto,
Soetandyo. 2012. Positivisme: Paradigma Ke Arah Lahirnya Teori-Teori Sosial. Teori-Teori Sosial Untuk Kajian Hukum.
Handout.
_______http://jembatan4.blogspot.co.id/2013/09/geografi-menurut-pandangan-positivisme_12.html.
Online Diakses 6 April 2016.