Sabtu, 12 Desember 2015

Geologi Tangkuban Perahu



Pengaruh Aktivitas Vulkanisme dan Jenis Tanah di Tangkuban Perahu
Terhadap Keanekaragaman Hayati








Oleh:
Moh. Dendy F B (1502616) email: milanisti_dendy@yahoo.com
Rendra Zainal M (1502456) email: zainalrendra@gmail.com



PROGRAM STUDI  PENDIDIKAN GEOGRAFI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015


A. Geologi Pulau Jawa
Bumi adalah sebuah planet yang sangat kompleks serta memiliki beragam kehidupan di dalamnya. Dengan penampakan yang kompleks tersebut, jika dilihat sejarah pembentukan bumi ternyata tidak terbentuk dalam waktu yang singkat tetapi melalui proses yang sangat panjang. Proses pembentukan bumi memerlukan ratusan bahkan jutaan tahun yang lalu sampai menjadi kenampakan bentang alam seperti sekarang ini. Dalam mempelajari geografi erat kaitannya dengan fenomena geosfer yang mana dalam kajiannya menjelaskan beberapa lapisan yang terdapat di bagian bumi, yaitu atmosfer, biosfer, hidrosfer, antroposfer dan litosfer.
Lapisan yang pertama adalah atmosfer yaitu lapisan gas yang melingkupi sebuah planet termasuk bumi, lapisan ini terdapat pada ketinggian 0 sampai beberapa ratus meter di atas permukaan bumi. Lapisan yang kedua adalah lapisan biosfer yaitu lapisan di permukaan bumi, air, dan atmosfer yang mendukung kehidupan organisme. Jadi bisa dikatakan bahwa biosfer ruang bagi tumbuhan dan hewan. Lapisan ketiga adalah hidrosfer yaitu lapisan air yang ada di permukaan bumi. Lapisan keempat adalah antroposfer yaitu lapisan manusia, artinya segala aktivitas manusia dipelajari dalam kajian antroposfer. Lapisan yang kelima adalah lapisan litosfer yaitu lapisan terluar bumi yang terdiri dari kulit bumi dan litosfer mengapung di atas lapisan yang agak lunak yaitu astenosfer.
Berbicara mengenai Gunung Tangkuban Perahu berarti membicarakan gunung api atau vulkanisme. Vulkanisme berasal dari kata Vulcanus yaitu dewa api bangsa Yunani yang konon tinggal di danau kawah Vulkano di Kepulauan Lipari, lepas pantai Italia (Buranda, 2009: 67). Istilah vulkanisme mengandung pengertian pengangkutan atau transport magma dari dalam ke permukaan bumi. Vulkanisme adalah proses alam yang berhubungan dengan kegiatan kegunungapian, mulai dari asal usul pembentukan magma di dalam bumi hingga kemunculannya di permukaan bumi dalam berbagai bentuk dan kegiatannya (Buranda, 2009: 67). Vulkanisme atau gunungapi sendiri dapat menjadi ancaman apabila letaknya di tengah-tengah masyarakat yang dapat meletus sewaktu-waktu, sehingga masyarakat yang berada didekat gunung api tersebut harus selalu waspada.
Pembentukan pulau-pulau di Indonesia adalah kontribusi dari mekanisme tektonik, yaitu melalui proses pengangkatan (uplift) dari posisi sebelumnya di bawah muka laut kemudian muncul menjadi daratan (Massinai, 2015: 47). Terdapat fosil-fosil yang berada di daratan saat ini contohnya fosil kerang yang terdapat di daerah Karang Sambung Jawa Tengah. Hal ini menunjukan bahwa fosil-fosil tersebut hidup pada laut dalam yang kemudian mati dan selanjutnya karena terjadi proses pengangkatan daratan fosil tersebut ikut terangkat. Proses tektonik masih berlangsung sampai saat ini dimana sering terjadi gempa bumi yang disebabkan oleh lempeng tektonik.  
Lempeng ini sangat mobil karena terpengaruh oleh arus konveksi yang terjadi di lapisan astenosfer. Akibat arus konveksi di astenosfer maka lempeng litosfer yang berada di atasnya terdorong sehingga akhirnya pecah menjadi beberapa bagian yaitu lempeng Pasifik, lempeng Amerika Utara, lempeng Amerika Selatan, lempeng Hindia dan Australia (Indo-Australia), lempeng Afrika, lempeng Eurasia, dan lempeng Antartika. Masing-masing lempeng bergerak ke arah tertentu dengan kecepatan 1-13 cm/tahun. Lempeng-lempeng tektonik yang ada di sekitar Indonesia adalah: lempeng Indo-Australia, lempeng pasifik, lempeng Filipina, lempeng Eurasia, dan beberapa lempeng kecil lainnya seperti lempeng Halmahera, lempeng Banda, dan lain-lain (Buranda, 2011: 12). Lempeng-lempeng tersebut bertabrakan satu sama lain, membentuk busur vulkanik serta menimbulkan gempa bumi.
 













Berdasarkan arah gerak dikenal dengan 3 tipe batas lempeng yaitu konvergen, divergen, dan shear atau transform. Pada batas lempeng konvergen ada dua lempeng yang bergerak ke arah satu sama lain. Menurut (Buranda, 2009: 44) menjelaskan bahwa jika lempeng dasar laut bertabrakan dengan lempeng dasar laut, salah satunya akan mengalami subduksi, membenam di bawah yang lain. Contohnya adalah lempeng Australia bertabrakan dengan lempeng Asia, dimana lempeng Australia membenam di sebelah barat pulau Sumatra, selatan pulau Jawa – Nusa Tenggara, dan Maluku Selatan.  Terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu tidak terlepas dari tabrakan lempeng yaitu antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Selanjutnya apabila lempeng dasar laut bertabrakan dengan lempeng benua, maka lempeng dasar laut membenam di bawah lempeng benua karena batuan dasar laut lebih berat. Kenampakan yang dihasilkan sama saja dengan tabrakan dasar laut dengan dasar laut, hanya letak palung dekat tepi benua dan busur vulkanik tidak berupa pulau-pulau vulkanik melainkan pegunungan tepi benua. Selanjutnya apabila lempeng benua bertabrakan dengan lempeng benua, kedua saling bertumpuk satu sama lain. Pegunungan Himalaya di Asia Tengah terbentuk dengan cara ini.
Batas lempeng divergen adalah batas antar lempeng yang bergerak saling menjauhi. Tipe batas lempeng ini umumnya dijumpai di pegunungan tengah samudra (Mid Oceanic Ridge). Arus konveksi di lapisan astenosfer mendorong keluar kemudian mendorong lempeng kearah yang berlawanan sehingga menyebabkan lempeng bergerak saling berlawanan. Celah yang terbentuk tersebut terisi oleh magma yang membentuk pegunungan tengah samudra.
    







Gambar 2: Pergerakan lempeng Konvergen dan Divergen
Sumber: dongenggeologi.com
                Batas lempeng shear atau transform adalah batas antar lempeng yang geraknya horizontal berlawanan arah antara batas keduanya, seperti mobil yang berpapasan di jalan. Contoh batas lempeng ini adalah patahan San Andreas di Amerika Utara di mana sisi timur bergerak ke selatan dan sisi barat bergerak ke arah utara. Daerah di batas lempeng semacam ini sering dilanda gempa dangkal karena gesekan batuan antara kedua lempeng.
 










Gambar 3:Patahan San Andreas
Sumber: dongenggeologi.com

Indonesia daerah yang dilalui oleh 3 jalur lipatan pegunungan yaitu sirkum pasifik, sirkum mediterania dan jalur pegunungan lipatan Australia. Kepulauan Indonesia merupakan daerah yang banyak terdapat gunungapi atau vulkanis dibanding dengan Negara lain di dunia. Hal ini dapat dilihat dari catatan statistik jumlah gunungapi aktif di seluruh dunia sekitar 500 buah, sedangkan yang terdapat di Indonesia sekitar 128 buah (Massinai, 2015: 260).  Sebaran gunungapi berderet bagaikan untaian zamrud yang melilit kepulauan Indonesia yang dikenal dengan cincin api (ring of fire). Deretan gunung api tersebut bermula dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku terus melingkar sampai daerah Sulawesi Utara, kecuali Kalimantan tidak dilalui karena tidak berbatasan langsung dengan daerah subduksi atau pertemuan lempeng.
Gunungapi tersebut menyebar dalam empat busur gunung api, yaitu:
1.      Busur gunungapi Sunda, mulai dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara.
2.      Busur gunungapi Banda, kelompok gunungapi di Kepulauan Banda.
3.      Busur gunungapi Halmahera, kelompok gunungapi di Halmahera dan Maluku Utara.
4.      Busur gunungapi Sulawesi Utara – Sangihe, dari Minahasa, Sangihe, Talaud.















Gambar 4: Sebaran Gunungapi di Indonesia
Sumber: dreamindonesia.files.wordpress.com/2010/11/map-indonesia-volcanoes.jpg

Setelah mengetahui unit-unit tektonik yang terbentuk pada tabrakan lempeng, selanjutnya kita akan melihat sistem pegunungan yang dihasilkan oleh tabrakan lempeng di Indonesia (Bemmelen dalam Buranda, 2011).
a. Sistem Subduksi Sumatra – Jawa
            Pulau Sumatra dan Jawa merupakan hasil dari tumbukan lempeng Indo-Australia dengan lempeng Paparan Sunda. Unit-unit tektono-struktural dari selatan ke utara terdiri dari:
1. Java trench (Palung Jawa),
2. Outer Arc Ridge (Busur Luar)
3. Fore Arc Basin (Outer Arc Basin) (Cekungan Busur Luar),
4. Volcanic Arc (Magmatic Arc) (Busur Dalam),dan
5. Foreland Basin (Back Arc Basin) (Cekungan Busur Belakang).
            Sistem subduksi di Sumatra – Jawa pada Cainozoikum menghasilkan pegunungan Bukit Barisan di Pulau Sumatra dan geantiklin Jawa di Pulau Jawa yang bersifat vulkanis.
 













Gambar 5: Vulkanik/Magmatic Arc Jawa
Sumber: syawal88.files.wordpress.com/2014/12/gambar1.jpg

Subduksi dasar lautan Hindia di bawah Jawa – Sumatra dapat dilihat dari zone gempa yang miring ke bawah baji melange sedalam 200 km dengan kemiringan makin bertambah luas. Di Pulau Jawa, kemiringan pada kedalaman 100 km sekitar 650 yang meluas sampai kedalaman 650 km. Panjang kurva kegempaan dari palung sekitar 800 km.
a. Java trench Palung Jawa           
Palung Jawa terletak paling luar sebagai hasil tekukan ujung lempeng Sunda ke bawah oleh lempeng Hindia – Australia. Dalamnya palung tersebut tidak sama di setiap tempat, semakin ke arah utara makin dangkal karena pengaruh sedimentasi yang bersumber dari kipas aluvial di Teluk Benggala yang terbawa arus laut ke arah selatan. Oleh karena itu, di Kep. Birma dalamnya palung laut sekitar 3.000 m, di Andaman – Nikobar sekitar 4.000 m, di Barat Sumatra sekitar 4.500 m dan di Selatan Jawa sekitar 6.000 – 7.000 m.
b. Outer arc ridge (busur luar)
            Tersusun dari batuan melange (batuan campur aduk) di selatan Jawa berupa laut yang dalam sedangkan di sebelah barat Sumatra merupakan laut yang relatif dangkal, sehingga sebagian muncul di permukaan, antara lain berupa pulau-pulau (P. Enggano – Kep. Mentawai – Kep. Batu – P. Nias – P. Semeulue). Daerah struktural Sumatra mengarah ke tenggara kemudian membelok ke timur di Jawa pada kala tersier.
c. Outer arc basin (Cekungan busur luar)
Berupa laut antara outer-arc ridge dengan daratan Jawa – Sumatra. Di sebelah selatan Jawa laut lebih dalam dibanding di sebelah barat Sumatra karena pengaruh sedimentasi yang berasal dari Teluk Benggala. Di lepas pantai barat Sumatra kedalaman air antara 250 – 2000 meter, sedangkan di lepas pantai selatan Jawa mencapai kedalaman 3000 – 4000 meter. Laut ini umumnya terisi oleh sedimen tebal (sekitar 6 km) baik dari daratan Sumatra dan Jawa maupun sedimen dari kipas aluvial di bawah Teluk Benggala. Hal itu yang menyebabkan mengapa outer arc ridge di sebelah barat Sumatra muncul di permukaan sedangkan di sebelah selatan Jawa tidak muncul di permukaan laut.
d. Volcanic Arc (Magmatic Arc) (Busur Dalam)
            Daerah ini merupakan daerah yang paling menarik dari segi topografi. Panjangnya sekitar 1.650 dan lebar 100 km. di daerah Aceh arah pegunungan agak rumit ada yang mengarak ke barat – timur yaitu Pegunungan Gayo Tengah, ke utara yaitu Pegunungan Rough van Dalen dan ke arah Tenggara Pegunungan Welhemina. Titik pusatnya di Gunung Pundak Lembu. Di Jawa jalur pegunungan umumnya relatif teratur yaitu berada pada barisan tengah dimana bagian selatan merupakan daratan karst sedangkan di bagian utara merupakan daratan aluvial.
e. Foreland Basin (Back Arc Basin)
            Merupakan daerah yang paling kaya dengan minyak dan gas bumi. Ada beberap perbedaan antara Jawa dan Sumatra antara lain:
  1. Di Jawa batuan vulkanik muda lebih banyak komposisi mafic/basa, sedangkan di Sumatra lebih banyak komposisi silikat atau lebih asam.
  2. Vulkan-vulkan di Jawa dibangun di atas lapisan sedimen marin Neogen, sedangkan di Sumatra dibangun di atas kompleks batuan pra-tersier.
  3. Basemen yang tersingkap di Jawa, terdiri dari melange Cretaceous Akhir atau Tersier paling awal, sedangkan di Sumatra berupa batuan kristalin.
  4. Di Sumatra terdapat strike – slip fault di sepanjang Bukit Barisan, tetapi di Jawa tidak dijumpai.
Menurut (Sriyono, 2014) pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh gunung-gunung api. Tulang punggung Pulau Jawa dibentuk oleh rangkaian gunung api. Dari beberapa gunung api yang ada di Indonesia, Pulau Jawa merupakan yang paling banyak terdapat gunung api daripada pulau lain. Gunung-gunung api di Jawa banyak yang mempunyai bentuk tidak teratur, karena sifat pipa kepundan (titik erupsi) yang berpindah-pindah dan adanya kerucut-kerucut pra-tersier. Daerah utara menunjukan perbedaan dengan daerah sebelah selatan. Pantai utara secara berangsur-angsur berbentuk landai, kecuali Gunung Muria di Jawa Tengah, tetapi disebelah selatan pantainya curam.














Gambar 6: Geologi Jawa
Sumber: hekobudiarta.files.wordpress.com/2012/08/ll.png

Unsur-unsur struktur utama Pulau Jawa adalah geantiklinal Jawa Selatan dan Geantiklinal Jawa Utara. Geosinklinal Jawa Utara menjadi semakin lebar ke arah timur dan mulai dari Semarang terpecah menjadi dua cabang yaitu utara dan selatan ditempati oleh Pegunungan Kendeng dan Selat Madura (Sriyono, 2014: 84). Secara rinci keadaan fisiografi Jawa Barat adalah sebagai berikut.
Bagian Jawa Barat terletak antara garis penghubung Kepulauan Seribu – Teluk Pelabuhan Ratu sampai garis penghubung antara Cirebon – Pulau Nusakambangan (Selatan Segara Anakan). Menurut (Sriyono, 2014) Jawa Barat dari utara sampai selatan dapat dibedakan:
1.      Daratan aluvial utara (daratan Jakarta), lebarnya kurang lebih 40 km, yang terbentang dari Serang (Banten) sampai Cirebon. Daerah ini sebagian besar terdiri dari endapan aluvial sungai dan lahar vulkan-vulkan di pedalaman.
2.      Zona Bogor, yaitu di sebelah selatan dataran aluvial dengan ditandai adanya bukit-bukit dan pegunungan yang lebarnya sekitar 40 km. Perbukitan ini merupakan sebuah antiklinorium dari lapisan Neogen yang terlipat kuat dengan disertai intrusi vulkanis. Bagian timur jalur ini tertutup oleh vulkan muda seperti Bukit Unggul, Tampomas, dan Cireme.
3.      Zona Bandung, yaitu jalur memanjang dari depresi antarpegunungan. Jalur ini membentang dari Teluk Pelabuhan Ratu melalui lembah Cimandiri, dataran tinggi Cianjur, Bandung, Garut, Lembah Citandui, dan berakhir di Segara Anakan, dengan lebar antara 20-40 km. Zona ini merupakan puncak geantiklinal Jawa yang telah hancur selama pelengkungan akhir Tersier. Batas antara zona Bogor dan zona Bandung terdapat sederet vulkan-vulkan kuarter seperti Gunung Kendeng, Gegak, Salak, Pangrango, Gedeh, Burangrang, Tangkuban Perahu, Bukit Unggul, Calangcang, dan Carkabuwana. Sedangkan batas zona Bandung dengan pegunungan selatan ditandai adanya vulkan-vulkan Kendeng, Patuha, Tilu, Malabar, Papandayan, dan Cikorai.

B. Gunung Tangkuban Perahu
            Gunung Tangkuban Perahu merupakan sisa dari Gunung Sunda Purba yang meletus pada masa lampau. Pada masa lampau sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu pegunungan Selatan Jawa terangkat secara tektonik dan menjadikan daerah pegunungan. Pada 2 juta tahun yang lalu aktivitas vulkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung api purba yang dinamai Gunung Sunda Purba. Diperkirakan mempunyai ketinggian sekitar 3500 m di atas permukaan laut. Sisa gunung purba raksaksa ini sekarang adalah punggung bukit. Gunung Sunda Purba kemudian runtuh dan membentuk suatu kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya muncul Gunung Tangkuban Perahu bersamaan dengan patahan Lembang sampai Gunung Malangyang dan memisahkan daratan tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung.
            Suatu erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6.000 tahun yang lalu beruapa suatu banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba) sebelah barat Sunagi Cikapundung sampai sekitar Padalarang dimana Sungai Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Hujan dan banjir abu vulkanik ini menyebabkan terbendungnya Sunagi Citarum Purba dan terbentuknya Danau Bandung.
 












Gambar 7: Rekontruksi Gunung Sunda Purba
Sumber: bandungholics.blogspot.co.id/p/sejarah-bandung.html
               
Gunung Tangkuban Perahu memiliki bentuk kerucut dengan bagian sisi gunung yang terjal. Puncaknya tidak runcing keatas tetapi cekung ke bawah seperti panci. Hal ini disebabkan karena Gunung Tangkuban Perahu merupakan bagian dari Gunung Sunda Purba yang meletus sehingga bagian puncaknya habis kemudian terbentuklah kaldera di Gunung Tangkuban Perahu. Istilah kaldera digunakan untuk depresi yang luas dipuncak gunungapi, dikelilingi dinding terjal. Terbentuknya kaldera karena letusan hebat yang menghempaskan sebagian tubuh gunung api, dapur magma bagian atas kosong sehingga ambles membentuk depresi yang luas. Bagian kawah Gunung Tangkuban Perahu mengeluarkan material  berupa lava dan sulfur. Pada kawah yang sudah mati tersingkap batuan yang beraliterasi hidrotermal yang membentuk mineral sulfida.
Menurut (Buranda, 2009) erupsi atau letusan gunungapi terjadi apabila tenaga gas dari dapur magma mampu mendobrak batuan penyusun kerak bumi. Biasanya setelah letusan akan meninggalkan lubang berbentuk mangkok di tempat keluarnya magma yang disebut kawah (creater). Ukurannya bermacam-macam, dari beberapa mater sampai 0,8 km dan dapat meluas karena tepinya mengalami longsor atau terkikis gas.  
            Secara umum, Gunung Tangkuban Perahu tersusun dari perselingan antara aliran lava dan breksi piroklastik. Litologi lava dan breksi piroklastik tersebut terbantuk karena lava Gunung Tangkuban Perahu yang berjenis intermediet sehingga tipe erupsinya berupa campuran antara aliran lava dan ledakan (ekplosif). Oleh sebab itu, tipe letusan dimasukan ke dalam golongan gunung api strato. Kebanyakan gunung api di Indonesia meruapak jenis gunung api strato. 
            Gunung Tangkuban Perahu termasuk gunungapi aktif dimana masih terdapat aktivitas munculnya gas belereng (sulfur) dan sumber-sumber air panas di kaki gunungnya di antaranya adalah di kawasan Ciater di Subang. Kegiatan vulkanisme Gunung Tangkuban Perahu telah membentuk morfologi berupa depresi vulkanik di sekitarnya. Depresi vulkanik adalah bentuk morfologi berupa cekungan hasil dari kegiatan vulkanisme. Depresi vulkanik dapat beruapa danau vulkanik dan kawah. Kawah-kawah yang terbentuk akibat dari aktivitas vulkanik tersebut adalah Kawah Ratu, Kawah Domas, dan Kawah Upas. Letak Kawah Domas yang agak berjauhan dengan Kawah Ratu dan Upas tetapi sumber utama penyusun gas tetap dalam satu sumber.
            Ada beberapa teori yang mengatakan bahwa terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu berasal dari sebuah gunungapi purba yang bernama Gunung Sunda. Salah satu teori mengatakan bahwa Gunung Tangkuban Perahu  sisa-sisa aktivitas gunungapi purba masa lalu. Sedangkan (Bemmelen dalam Buranda, 2009) mengatakan bahwa pegunungan vulkanis di Jawa terbentuk bersamaan karena tabrakan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Topografi Bandung yang berupa cekungan dengan gunung di sekitarnya semakin menguatkan bahwa Bandung merupakan hasil depresi vulkanik berupa kawah Gunung Sunda. Fenomena seperti ini juga dapat terlihat pada gunungapi Bromo di Jawa Timur dimana pada masa lampu merupakan Gunung Tengger. Gunung Tengger meletus hebat kemudian membentuk kaldera seluas 7 km dan muncul beberapa gunungapi seperti Gunung Semeru dan Gunung Bromo. Kompleks pegunungan tersebut dinamakan kompleks pegunungan Tengger, Bromo, dan Semeru.
 












Gambar 8: Gunung Tangkuban Perahu
Sumber: Dokumen Pribadi


 













Gambar 9: Kawah Domas, Tangkuban Perahu
Sumber: Dokumen Pribadi




C. Bencana yang Ditimbulkan Dari Letusan Gunungapi
            Letusan gunungapi akan membawa dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat di sekitar lereng gunung. Permukiman yang berada di radius jangkauan lahar gunungapi dapat menimbulkan kerugian baik moril maupun materil bagi penduduk. Untuk itu penduduk yang bermukim di sekitar lereng gunungapi seperti Gunung Tangkuban Perahu hendaknya selalu waspada apabila sewaktu-waktu terjadi letusan seperti yang terjadi pada Gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2010 dan Gunung Kelud di Kediri Jawa Timur tahun 2014. Berikut ini beberapa dampak negatif akibat letusan gunungapi:
1.      Tercemarnya udara dengan abu gunungapi yang mengandung bermacam-macam gas mulai dari sulfur dioksida atau SO2, serta beberapa partikel debu yang dapat masuk disaluran pernapasan mahluk hidup termasuk manusia dan hewan. Untuk itu apabila terjadi letusan gunungapi selalu sedia masker agar abu vulkanik tidak langsung masuk ke dalam sistem pernapasan tetapi dapat disaring oleh masker dan hendaknya masker dibasahi oleh air.
2.      Dengan meletusnya suatu gunungapi dapat dipastikan akan menggangu aktivitas ekonomi masyarakat. Untuk itu perlunya bantuan pemerintah dan BNPB dalam uapaya membantu perekonomian selama terjadi bencana vulkanik.
3.      Semua titik yang dilalui oleh material berbahaya seperti lahar dan abu vulkanik pasan akan merusak permukiman warga. Untuk itu, perlunya membuat aliran lahar seperti yang dilakukan di lereng Gunung Merapi. Pemerintah daerah sudah mengantisipasi apabila sewaktu-waktu Gunung tersebut meletus. Apabila lahar dan abu vulkanik sudah berhenti ancaman bagi masyarakat adalah lahar hujan. Lahar hujan terjadi karena bekas letusan gunungapi tersebut mengalami kosong dibagian puncak sehingga ketika hujan terisi oleh air. Hujan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan rusak atau ambrolnya sisi gunung yang berdampak pada timbulnya lahar hujan. Terjadi salah penyebutan di masyarakat yaitu lahar dingin, sebenarnya yang lebih tepat adalah lahan hujan yaitu lahar yang timbul karena hujan.
4.      Material yang dikeluarkan oleh letusan gunungapi berpotensi menyebabkan sejumlah penyakit pernapasan (ISPA).
5.      Lahar panas yang melewati hutan akan menyebabkan hutan terbakar. Seperti yang terjadi di leren Gunung Merapi  yang mengakibatkan ekosistem alami hutan terancam.
Selain dampak negatif yang ditimbulkan oleh letusan gunungapi, disisi lain membawa manfaat bagi masyarakat sekitar lereng gunung. Manfaat letusan gunungapi adalah sebagai berikut:
1.      Tanah yang dilalui bekas letusan gunungapi sangat baik abgi pertanian sebab terdapat mineral yang dapat menyuburkan tanah sehingga tanaman akan subur dan berkualitas.
2.      Terdapat mata pencaharian baru bagi masyarakat yaitu pasir bekas letusan dapat digunakan untuk menunjang ekonomi, seperti yang dilakukan masyarakat Kediri pasca meletusnya Gunung Kelud tahun 2014 lalu. Selain pasir, batuan bekas semburan gunungapi juga dapat dimafaatkan sebagai bahan bangunan.
3.      Muncul ekosistem baru akibat meletusnya gunungapi. Meskipun ekosistem hutan rusak tetapi lambat laun akan digantikan oleh ekosistem jenis baru.

D. Jenis Tanah Vulkanis
Tanah andosol atau disebut juga tanah vulkanik yaitu tanah yang terbentuk  dari proses andosolization. Proses ini adalah proses yang terjadi akibat pengendapan mineral dari sebuah pelapukan vulkanik dan campuran logam kompleks serta humus. Karakteristik tanah andosol mempunyai retensi sulfat yang kuat. Selain itu sifat atau ciri-ciri tanah andosol yang lain adalah konstituen koloid tanah andosol yang berguna untuk membantu idetifikasi andosol tersebut. Namun, ada satu ciri tanah andosol yang utama yaitu memiliki bahan induk andosol tephra. Tephra tersebut terbentuk dari hasil campuran dari vulkanik ejecta yang merupakan satu sisa vulkanik. Adapun kandungan mineral pada sifat atau ciri-ciri andosol yaitu aluminium (Al), besi (Fe), dan (silisium) Si.
  1. Faktor Pembentuk Tanah
Andosol merupakan ciri khas di daerah pegunungan yang mempunyai curah hujan sekitar 2000 mm/tahun, yang hampir tidak memiliki musim kering. Bahan induknya berupa tuf vulkan dan abu vulkanik yang relatif masih muda (Juarti, 2004).  Andosol dijumpai pada daerah yang mempunyai ketinggian lebih dari 1000 m dengan topografi bergelombang, agak rata dan dataran tinggi gunung berapi, di bawah vegetasi hutan tropika basah. Andosol merupakan tanah yang masih muda sehingga proses-proses pembentukan tanah masih lemah.
  1. Sifat dan Ciri
Menurut (Juarti, 2004) solum andosol umumnya agak dalam sampai dalam berwarna hitam sampai kekuningan, mempunyai horizon A. Tekstur dicirikan oleh kandungan debu yang tinggi. Reaksi tanah berkisar dari agak masam sampai netral, kandungan bahan organik tinggi di bagian atas tetapi menurun di lapisan bawah.  Kandungan unsur haranya rendah, terutama untuk N, P, dan K. Fraksi liat didominasi oleh alofan. Andosol mempunyai permeabilitas yang baik, tetapi  sangat peka terhadap erosi baik oleh erosi air maupun erosi angin.
Tumbuhan khas yang hidup di sekitar Gunung Tangkuban Perahu adalah pohon Vaksinium atau Manarasa. Masyarakat sekitar lereng gunung sering menyebutnya dengan istilah pohon Cantigi. Pohon Manarasa mempunyai ciri khas yaitu pohonya berwarna hitam yang membedakan dengan vegetasi lain. Hidup pada daerah sekitar gunung dimana pohon tersebut hidup karena pengaruh dari belerang (sulfur) jika tidak ada pengaruh dari belerang maka tidak dapat hidup. Mempunyai daun yang berwarna merah di ujung batang, khasiat dari daun tersebut dapat mengobati diare. Pada musim panas pohon tersebut akan menghasilkan buah. Meskipun suhu di sekitar tangkuban perahu tidak menentu apabila pada siang hari dapat mencapi 240 C sedangkan pada malam hari dapat mencapai 50 C, tetapi pohon Manarasa tetap tumbuh dengan subur. Selain pohon cantigi yang merupakan tanaman khas Gunung Tangkuban Perahu terdapat juga pohon yang berusia sekitar 600 tahun. Pohon tersebut terdapat di sisi jalan apabila akan menuju ke Kawah Domas.






 














Gambar 10: Pohon Manarasa (Cantigi)
Sumber: Dokumen Pribadi

 















Gambar 11: Pohon yang berusia sekitar 600 tahun
Sumber: Dokumen Pribadi

Daftar Pustaka
Buranda, J.P. 2009. Geologi Umum. Universitas Negeri Malang. Diktat Tidak diterbitkan.
Buranda, J.P. 2009. Geologi Indonesia. Universitas Negeri Malang. Diktat Tidak
diterbitkan.

Massanai, M. A. 2015. Geomorfologi Tektonik. Pustaka Ilmu. Yogyakarta.

Juarti dan Utomo, D. 2004. Geografi Tanah. Universitas Negeri Malang. Diktat Tidak
diterbitkan.

Sriyono. 2014. Geologi Dan Geomorfologi Indonesia. Ombak. Yogyakarta.
         
           


PETA PENGGUNAAN LAHAN DESA OLAYA KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MOUTONG

PETA PENGGUNAAN LAHAN DESA OLAYA KECAMATAN PARIGI KABUPATEN PARIGI MOUTONG