Pengaruh
Aktivitas Vulkanisme dan Jenis Tanah di Tangkuban Perahu
Terhadap
Keanekaragaman Hayati
Oleh:
Moh.
Dendy F B (1502616) email: milanisti_dendy@yahoo.com
Rendra Zainal M (1502456) email: zainalrendra@gmail.com
Rendra Zainal M (1502456) email: zainalrendra@gmail.com
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015
A.
Geologi Pulau Jawa
Bumi adalah sebuah
planet yang sangat kompleks serta memiliki beragam kehidupan di dalamnya.
Dengan penampakan yang kompleks tersebut, jika dilihat sejarah pembentukan bumi
ternyata tidak terbentuk dalam waktu yang singkat tetapi melalui proses yang
sangat panjang. Proses pembentukan bumi memerlukan ratusan bahkan jutaan tahun
yang lalu sampai menjadi kenampakan bentang alam seperti sekarang ini. Dalam
mempelajari geografi erat kaitannya dengan fenomena geosfer yang mana dalam
kajiannya menjelaskan beberapa lapisan yang terdapat di bagian bumi, yaitu
atmosfer, biosfer, hidrosfer, antroposfer dan litosfer.
Lapisan yang pertama
adalah atmosfer yaitu lapisan gas yang melingkupi sebuah planet termasuk bumi,
lapisan ini terdapat pada ketinggian 0 sampai beberapa ratus meter di atas
permukaan bumi. Lapisan yang kedua adalah lapisan biosfer yaitu lapisan di
permukaan bumi, air, dan atmosfer yang mendukung kehidupan organisme. Jadi bisa
dikatakan bahwa biosfer ruang bagi tumbuhan dan hewan. Lapisan ketiga adalah
hidrosfer yaitu lapisan air yang ada di permukaan bumi. Lapisan keempat adalah
antroposfer yaitu lapisan manusia, artinya segala aktivitas manusia dipelajari dalam
kajian antroposfer. Lapisan yang kelima adalah lapisan litosfer yaitu lapisan
terluar bumi yang terdiri dari kulit bumi dan litosfer mengapung di atas
lapisan yang agak lunak yaitu astenosfer.
Berbicara mengenai
Gunung Tangkuban Perahu berarti membicarakan gunung api atau vulkanisme.
Vulkanisme berasal dari kata Vulcanus yaitu
dewa api bangsa Yunani yang konon tinggal di danau kawah Vulkano di Kepulauan
Lipari, lepas pantai Italia (Buranda, 2009: 67). Istilah vulkanisme mengandung
pengertian pengangkutan atau transport magma
dari dalam ke permukaan bumi. Vulkanisme adalah proses alam yang berhubungan
dengan kegiatan kegunungapian, mulai dari asal usul pembentukan magma di dalam
bumi hingga kemunculannya di permukaan bumi dalam berbagai bentuk dan kegiatannya
(Buranda, 2009: 67). Vulkanisme atau gunungapi sendiri dapat menjadi ancaman
apabila letaknya di tengah-tengah masyarakat yang dapat meletus sewaktu-waktu,
sehingga masyarakat yang berada didekat gunung api tersebut harus selalu
waspada.
Pembentukan pulau-pulau
di Indonesia adalah kontribusi dari mekanisme tektonik, yaitu melalui proses
pengangkatan (uplift) dari posisi
sebelumnya di bawah muka laut kemudian muncul menjadi daratan (Massinai, 2015:
47). Terdapat fosil-fosil yang berada di daratan saat ini contohnya fosil
kerang yang terdapat di daerah Karang Sambung Jawa Tengah. Hal ini menunjukan
bahwa fosil-fosil tersebut hidup pada laut dalam yang kemudian mati dan
selanjutnya karena terjadi proses pengangkatan daratan fosil tersebut ikut
terangkat. Proses tektonik masih berlangsung sampai saat ini dimana sering
terjadi gempa bumi yang disebabkan oleh lempeng tektonik.
Lempeng ini sangat
mobil karena terpengaruh oleh arus konveksi yang terjadi di lapisan astenosfer.
Akibat arus konveksi di astenosfer maka lempeng litosfer yang berada di atasnya
terdorong sehingga akhirnya pecah menjadi beberapa bagian yaitu lempeng
Pasifik, lempeng Amerika Utara, lempeng Amerika Selatan, lempeng Hindia dan
Australia (Indo-Australia), lempeng Afrika, lempeng Eurasia, dan lempeng
Antartika. Masing-masing lempeng bergerak ke arah tertentu dengan kecepatan 1-13
cm/tahun. Lempeng-lempeng tektonik yang ada di sekitar Indonesia adalah:
lempeng Indo-Australia, lempeng pasifik, lempeng Filipina, lempeng Eurasia, dan
beberapa lempeng kecil lainnya seperti lempeng Halmahera, lempeng Banda, dan
lain-lain (Buranda, 2011: 12). Lempeng-lempeng tersebut bertabrakan satu sama
lain, membentuk busur vulkanik serta menimbulkan gempa bumi.
Gambar 1:Lempeng Tektonik
Sumber: fiflowers.files.wordpress.com/2012/10/plates-name.jpg
Sumber: fiflowers.files.wordpress.com/2012/10/plates-name.jpg
Berdasarkan arah gerak
dikenal dengan 3 tipe batas lempeng yaitu konvergen, divergen, dan shear atau transform. Pada batas lempeng konvergen ada dua lempeng yang
bergerak ke arah satu sama lain. Menurut (Buranda, 2009: 44) menjelaskan bahwa
jika lempeng dasar laut bertabrakan dengan lempeng dasar laut, salah satunya
akan mengalami subduksi, membenam di bawah yang lain. Contohnya adalah lempeng
Australia bertabrakan dengan lempeng Asia, dimana lempeng Australia membenam di
sebelah barat pulau Sumatra, selatan pulau Jawa – Nusa Tenggara, dan Maluku
Selatan. Terbentuknya Gunung Tangkuban
Perahu tidak terlepas dari tabrakan lempeng yaitu antara lempeng Indo-Australia
dan lempeng Eurasia. Selanjutnya apabila lempeng dasar laut bertabrakan dengan
lempeng benua, maka lempeng dasar laut membenam di bawah lempeng benua karena
batuan dasar laut lebih berat. Kenampakan yang dihasilkan sama saja dengan
tabrakan dasar laut dengan dasar laut, hanya letak palung dekat tepi benua dan
busur vulkanik tidak berupa pulau-pulau vulkanik melainkan pegunungan tepi
benua. Selanjutnya apabila lempeng benua bertabrakan dengan lempeng benua,
kedua saling bertumpuk satu sama lain. Pegunungan Himalaya di Asia Tengah
terbentuk dengan cara ini.
Batas lempeng divergen
adalah batas antar lempeng yang bergerak saling menjauhi. Tipe batas lempeng
ini umumnya dijumpai di pegunungan tengah samudra (Mid Oceanic Ridge). Arus konveksi di lapisan astenosfer mendorong
keluar kemudian mendorong lempeng kearah yang berlawanan sehingga menyebabkan
lempeng bergerak saling berlawanan. Celah yang terbentuk tersebut terisi oleh
magma yang membentuk pegunungan tengah samudra.
Gambar 2: Pergerakan lempeng
Konvergen dan Divergen
Sumber: dongenggeologi.com
Batas lempeng shear atau transform adalah batas antar lempeng yang geraknya horizontal
berlawanan arah antara batas keduanya, seperti mobil yang berpapasan di jalan.
Contoh batas lempeng ini adalah patahan San Andreas di Amerika Utara di mana
sisi timur bergerak ke selatan dan sisi barat bergerak ke arah utara. Daerah di
batas lempeng semacam ini sering dilanda gempa dangkal karena gesekan batuan
antara kedua lempeng.
Gambar 3:Patahan San Andreas
Sumber: dongenggeologi.com
Indonesia daerah yang
dilalui oleh 3 jalur lipatan pegunungan yaitu sirkum pasifik, sirkum
mediterania dan jalur pegunungan lipatan Australia. Kepulauan Indonesia
merupakan daerah yang banyak terdapat gunungapi atau vulkanis dibanding dengan Negara lain di dunia. Hal ini dapat
dilihat dari catatan statistik jumlah gunungapi aktif di seluruh dunia sekitar
500 buah, sedangkan yang terdapat di Indonesia sekitar 128 buah (Massinai,
2015: 260). Sebaran gunungapi berderet
bagaikan untaian zamrud yang melilit kepulauan Indonesia yang dikenal dengan
cincin api (ring of fire). Deretan
gunung api tersebut bermula dari Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku terus
melingkar sampai daerah Sulawesi Utara, kecuali Kalimantan tidak dilalui karena
tidak berbatasan langsung dengan daerah subduksi atau pertemuan lempeng.
Gunungapi tersebut
menyebar dalam empat busur gunung api, yaitu:
1.
Busur gunungapi Sunda, mulai dari
Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara.
2.
Busur gunungapi Banda, kelompok
gunungapi di Kepulauan Banda.
3.
Busur gunungapi Halmahera, kelompok
gunungapi di Halmahera dan Maluku Utara.
4.
Busur gunungapi
Sulawesi Utara – Sangihe, dari Minahasa, Sangihe, Talaud.
Gambar 4: Sebaran Gunungapi di
Indonesia
Sumber:
dreamindonesia.files.wordpress.com/2010/11/map-indonesia-volcanoes.jpg
Setelah mengetahui
unit-unit tektonik yang terbentuk pada tabrakan lempeng, selanjutnya kita akan
melihat sistem pegunungan yang dihasilkan oleh tabrakan lempeng di Indonesia
(Bemmelen dalam Buranda, 2011).
a. Sistem Subduksi Sumatra – Jawa
Pulau
Sumatra dan Jawa merupakan hasil dari tumbukan lempeng Indo-Australia dengan
lempeng Paparan Sunda. Unit-unit tektono-struktural dari selatan ke utara
terdiri dari:
1. Java
trench (Palung Jawa),
2. Outer
Arc Ridge (Busur Luar)
3. Fore
Arc Basin (Outer Arc Basin)
(Cekungan Busur Luar),
4. Volcanic
Arc (Magmatic Arc) (Busur Dalam),dan
5. Foreland
Basin (Back Arc Basin) (Cekungan
Busur Belakang).
Sistem
subduksi di Sumatra – Jawa pada Cainozoikum menghasilkan pegunungan Bukit
Barisan di Pulau Sumatra dan geantiklin Jawa di Pulau Jawa yang bersifat
vulkanis.
Gambar 5: Vulkanik/Magmatic Arc
Jawa
Sumber:
syawal88.files.wordpress.com/2014/12/gambar1.jpg
Subduksi dasar lautan
Hindia di bawah Jawa – Sumatra dapat dilihat dari zone gempa yang miring ke
bawah baji melange sedalam 200 km dengan kemiringan makin bertambah luas. Di
Pulau Jawa, kemiringan pada kedalaman 100 km sekitar 650 yang meluas
sampai kedalaman 650 km. Panjang kurva kegempaan dari palung sekitar 800 km.
a. Java
trench Palung Jawa
Palung Jawa terletak
paling luar sebagai hasil tekukan ujung lempeng Sunda ke bawah oleh lempeng
Hindia – Australia. Dalamnya palung tersebut tidak sama di setiap tempat, semakin
ke arah utara makin dangkal karena pengaruh sedimentasi yang bersumber dari
kipas aluvial di Teluk Benggala yang terbawa arus laut ke arah selatan. Oleh
karena itu, di Kep. Birma dalamnya palung laut sekitar 3.000 m, di Andaman –
Nikobar sekitar 4.000 m, di Barat Sumatra sekitar 4.500 m dan di Selatan Jawa
sekitar 6.000 – 7.000 m.
b. Outer
arc ridge (busur luar)
Tersusun
dari batuan melange (batuan campur aduk) di selatan Jawa berupa laut yang dalam
sedangkan di sebelah barat Sumatra merupakan laut yang relatif dangkal,
sehingga sebagian muncul di permukaan, antara lain berupa pulau-pulau (P.
Enggano – Kep. Mentawai – Kep. Batu – P. Nias – P. Semeulue). Daerah struktural
Sumatra mengarah ke tenggara kemudian membelok ke timur di Jawa pada kala
tersier.
c. Outer
arc basin (Cekungan busur luar)
Berupa laut antara outer-arc ridge dengan daratan Jawa –
Sumatra. Di sebelah selatan Jawa laut lebih dalam dibanding di sebelah barat
Sumatra karena pengaruh sedimentasi yang berasal dari Teluk Benggala. Di lepas
pantai barat Sumatra kedalaman air antara 250 – 2000 meter, sedangkan di lepas
pantai selatan Jawa mencapai kedalaman 3000 – 4000 meter. Laut ini umumnya
terisi oleh sedimen tebal (sekitar 6 km) baik dari daratan Sumatra dan Jawa
maupun sedimen dari kipas aluvial di bawah Teluk Benggala. Hal itu yang
menyebabkan mengapa outer arc ridge di
sebelah barat Sumatra muncul di permukaan sedangkan di sebelah selatan Jawa
tidak muncul di permukaan laut.
d. Volcanic
Arc (Magmatic Arc) (Busur Dalam)
Daerah
ini merupakan daerah yang paling menarik dari segi topografi. Panjangnya
sekitar 1.650 dan lebar 100 km. di daerah Aceh arah pegunungan agak rumit ada
yang mengarak ke barat – timur yaitu Pegunungan Gayo Tengah, ke utara yaitu
Pegunungan Rough van Dalen dan ke arah Tenggara Pegunungan Welhemina. Titik
pusatnya di Gunung Pundak Lembu. Di Jawa jalur pegunungan umumnya relatif
teratur yaitu berada pada barisan tengah dimana bagian selatan merupakan
daratan karst sedangkan di bagian utara merupakan daratan aluvial.
e. Foreland
Basin (Back Arc Basin)
Merupakan
daerah yang paling kaya dengan minyak dan gas bumi. Ada beberap perbedaan
antara Jawa dan Sumatra antara lain:
- Di Jawa
batuan vulkanik muda lebih banyak komposisi mafic/basa, sedangkan di Sumatra lebih banyak komposisi
silikat atau lebih asam.
- Vulkan-vulkan
di Jawa dibangun di atas lapisan sedimen marin Neogen, sedangkan di
Sumatra dibangun di atas kompleks batuan pra-tersier.
- Basemen
yang tersingkap di Jawa, terdiri dari melange Cretaceous Akhir atau
Tersier paling awal, sedangkan di Sumatra berupa batuan kristalin.
- Di Sumatra
terdapat strike – slip fault di
sepanjang Bukit Barisan, tetapi di Jawa tidak dijumpai.
Menurut (Sriyono, 2014)
pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh gunung-gunung api. Tulang punggung Pulau
Jawa dibentuk oleh rangkaian gunung api. Dari beberapa gunung api yang ada di
Indonesia, Pulau Jawa merupakan yang paling banyak terdapat gunung api daripada
pulau lain. Gunung-gunung api di Jawa banyak yang mempunyai bentuk tidak
teratur, karena sifat pipa kepundan (titik erupsi) yang berpindah-pindah dan
adanya kerucut-kerucut pra-tersier. Daerah utara menunjukan perbedaan dengan
daerah sebelah selatan. Pantai utara secara berangsur-angsur berbentuk landai,
kecuali Gunung Muria di Jawa Tengah, tetapi disebelah selatan pantainya curam.
Gambar 6: Geologi Jawa
Sumber: hekobudiarta.files.wordpress.com/2012/08/ll.png
Sumber: hekobudiarta.files.wordpress.com/2012/08/ll.png
Unsur-unsur struktur
utama Pulau Jawa adalah geantiklinal Jawa Selatan dan Geantiklinal Jawa Utara.
Geosinklinal Jawa Utara menjadi semakin lebar ke arah timur dan mulai dari Semarang
terpecah menjadi dua cabang yaitu utara dan selatan ditempati oleh Pegunungan
Kendeng dan Selat Madura (Sriyono, 2014: 84). Secara rinci keadaan fisiografi
Jawa Barat adalah sebagai berikut.
Bagian Jawa Barat
terletak antara garis penghubung Kepulauan Seribu – Teluk Pelabuhan Ratu sampai
garis penghubung antara Cirebon – Pulau Nusakambangan (Selatan Segara Anakan).
Menurut (Sriyono, 2014) Jawa Barat dari utara sampai selatan dapat dibedakan:
1.
Daratan aluvial utara (daratan Jakarta),
lebarnya kurang lebih 40 km, yang terbentang dari Serang (Banten) sampai
Cirebon. Daerah ini sebagian besar terdiri dari endapan aluvial sungai dan
lahar vulkan-vulkan di pedalaman.
2.
Zona Bogor, yaitu di sebelah selatan
dataran aluvial dengan ditandai adanya bukit-bukit dan pegunungan yang lebarnya
sekitar 40 km. Perbukitan ini merupakan sebuah antiklinorium dari lapisan
Neogen yang terlipat kuat dengan disertai intrusi vulkanis. Bagian timur jalur
ini tertutup oleh vulkan muda seperti Bukit Unggul, Tampomas, dan Cireme.
3.
Zona Bandung, yaitu jalur memanjang dari
depresi antarpegunungan. Jalur ini membentang dari Teluk Pelabuhan Ratu melalui
lembah Cimandiri, dataran tinggi Cianjur, Bandung, Garut, Lembah Citandui, dan
berakhir di Segara Anakan, dengan lebar antara 20-40 km. Zona ini merupakan
puncak geantiklinal Jawa yang telah hancur selama pelengkungan akhir Tersier.
Batas antara zona Bogor dan zona Bandung terdapat sederet vulkan-vulkan kuarter
seperti Gunung Kendeng, Gegak, Salak, Pangrango, Gedeh, Burangrang, Tangkuban
Perahu, Bukit Unggul, Calangcang, dan Carkabuwana. Sedangkan batas zona Bandung
dengan pegunungan selatan ditandai adanya vulkan-vulkan Kendeng, Patuha, Tilu,
Malabar, Papandayan, dan Cikorai.
B.
Gunung Tangkuban Perahu
Gunung Tangkuban
Perahu merupakan sisa dari Gunung Sunda Purba yang meletus pada masa lampau. Pada
masa lampau sekitar 14 juta sampai 2 juta tahun yang lalu pegunungan Selatan
Jawa terangkat secara tektonik dan menjadikan daerah pegunungan. Pada 2 juta
tahun yang lalu aktivitas vulkanik ini bergeser ke utara dan membentuk gunung
api purba yang dinamai Gunung Sunda Purba. Diperkirakan mempunyai ketinggian
sekitar 3500 m di atas permukaan laut. Sisa gunung purba raksaksa ini sekarang
adalah punggung bukit. Gunung Sunda Purba kemudian runtuh dan membentuk suatu
kaldera (kawah besar yang berukuran 5-10 km) yang ditengahnya muncul Gunung
Tangkuban Perahu bersamaan dengan patahan Lembang sampai Gunung Malangyang dan
memisahkan daratan tinggi Lembang dari dataran tinggi Bandung.
Suatu
erupsi cataclysmic kedua terjadi sekitar 6.000 tahun yang lalu beruapa suatu
banjir abu panas yang melanda bagian utara Bandung (lereng Gunung Sunda Purba)
sebelah barat Sunagi Cikapundung sampai sekitar Padalarang dimana Sungai
Citarum Purba mengalir ke luar dataran tinggi Bandung. Hujan dan banjir abu
vulkanik ini menyebabkan terbendungnya Sunagi Citarum Purba dan terbentuknya
Danau Bandung.
Gambar 7: Rekontruksi Gunung
Sunda Purba
Sumber:
bandungholics.blogspot.co.id/p/sejarah-bandung.html
Gunung Tangkuban Perahu
memiliki bentuk kerucut dengan bagian sisi gunung yang terjal. Puncaknya tidak
runcing keatas tetapi cekung ke bawah seperti panci. Hal ini disebabkan karena
Gunung Tangkuban Perahu merupakan bagian dari Gunung Sunda Purba yang meletus
sehingga bagian puncaknya habis kemudian terbentuklah kaldera di Gunung Tangkuban
Perahu. Istilah kaldera digunakan untuk depresi yang luas dipuncak gunungapi,
dikelilingi dinding terjal. Terbentuknya kaldera karena letusan hebat yang menghempaskan
sebagian tubuh gunung api, dapur magma bagian atas kosong sehingga ambles
membentuk depresi yang luas. Bagian kawah Gunung Tangkuban Perahu mengeluarkan
material berupa lava dan sulfur. Pada
kawah yang sudah mati tersingkap batuan yang beraliterasi hidrotermal yang
membentuk mineral sulfida.
Menurut (Buranda, 2009)
erupsi atau letusan gunungapi terjadi apabila tenaga gas dari dapur magma mampu
mendobrak batuan penyusun kerak bumi. Biasanya setelah letusan akan
meninggalkan lubang berbentuk mangkok di tempat keluarnya magma yang disebut
kawah (creater). Ukurannya
bermacam-macam, dari beberapa mater sampai 0,8 km dan dapat meluas karena
tepinya mengalami longsor atau terkikis gas.
Secara
umum, Gunung Tangkuban Perahu tersusun dari perselingan antara aliran lava dan
breksi piroklastik. Litologi lava dan breksi piroklastik tersebut terbantuk
karena lava Gunung Tangkuban Perahu yang berjenis intermediet sehingga tipe
erupsinya berupa campuran antara aliran lava dan ledakan (ekplosif). Oleh sebab
itu, tipe letusan dimasukan ke dalam golongan gunung api strato. Kebanyakan
gunung api di Indonesia meruapak jenis gunung api strato.
Gunung
Tangkuban Perahu termasuk gunungapi aktif dimana masih terdapat aktivitas
munculnya gas belereng (sulfur) dan sumber-sumber air panas di kaki gunungnya
di antaranya adalah di kawasan Ciater di Subang. Kegiatan vulkanisme Gunung
Tangkuban Perahu telah membentuk morfologi berupa depresi vulkanik di
sekitarnya. Depresi vulkanik adalah bentuk morfologi berupa cekungan hasil dari
kegiatan vulkanisme. Depresi vulkanik dapat beruapa danau vulkanik dan kawah.
Kawah-kawah yang terbentuk akibat dari aktivitas vulkanik tersebut adalah Kawah
Ratu, Kawah Domas, dan Kawah Upas. Letak Kawah Domas yang agak berjauhan dengan
Kawah Ratu dan Upas tetapi sumber utama penyusun gas tetap dalam satu sumber.
Ada
beberapa teori yang mengatakan bahwa terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu
berasal dari sebuah gunungapi purba yang bernama Gunung Sunda. Salah satu teori
mengatakan bahwa Gunung Tangkuban Perahu
sisa-sisa aktivitas gunungapi purba masa lalu. Sedangkan (Bemmelen dalam
Buranda, 2009) mengatakan bahwa pegunungan vulkanis di Jawa terbentuk bersamaan
karena tabrakan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Topografi Bandung yang
berupa cekungan dengan gunung di sekitarnya semakin menguatkan bahwa Bandung
merupakan hasil depresi vulkanik berupa kawah Gunung Sunda. Fenomena seperti
ini juga dapat terlihat pada gunungapi Bromo di Jawa Timur dimana pada masa
lampu merupakan Gunung Tengger. Gunung Tengger meletus hebat kemudian membentuk
kaldera seluas 7 km dan muncul beberapa gunungapi seperti Gunung Semeru dan
Gunung Bromo. Kompleks pegunungan tersebut dinamakan kompleks pegunungan
Tengger, Bromo, dan Semeru.
Gambar 8: Gunung Tangkuban Perahu
Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 9: Kawah Domas, Tangkuban
Perahu
Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi
C.
Bencana yang Ditimbulkan Dari Letusan Gunungapi
Letusan
gunungapi akan membawa dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat di sekitar
lereng gunung. Permukiman yang berada di radius jangkauan lahar gunungapi dapat
menimbulkan kerugian baik moril maupun materil bagi penduduk. Untuk itu
penduduk yang bermukim di sekitar lereng gunungapi seperti Gunung Tangkuban
Perahu hendaknya selalu waspada apabila sewaktu-waktu terjadi letusan seperti
yang terjadi pada Gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2010 dan Gunung Kelud di
Kediri Jawa Timur tahun 2014. Berikut ini beberapa dampak negatif akibat
letusan gunungapi:
1.
Tercemarnya udara dengan abu gunungapi
yang mengandung bermacam-macam gas mulai dari sulfur dioksida atau SO2, serta
beberapa partikel debu yang dapat masuk disaluran pernapasan mahluk hidup
termasuk manusia dan hewan. Untuk itu apabila terjadi letusan gunungapi selalu
sedia masker agar abu vulkanik tidak langsung masuk ke dalam sistem pernapasan
tetapi dapat disaring oleh masker dan hendaknya masker dibasahi oleh air.
2.
Dengan meletusnya suatu gunungapi dapat
dipastikan akan menggangu aktivitas ekonomi masyarakat. Untuk itu perlunya
bantuan pemerintah dan BNPB dalam uapaya membantu perekonomian selama terjadi
bencana vulkanik.
3.
Semua titik yang dilalui oleh material
berbahaya seperti lahar dan abu vulkanik pasan akan merusak permukiman warga.
Untuk itu, perlunya membuat aliran lahar seperti yang dilakukan di lereng
Gunung Merapi. Pemerintah daerah sudah mengantisipasi apabila sewaktu-waktu
Gunung tersebut meletus. Apabila lahar dan abu vulkanik sudah berhenti ancaman
bagi masyarakat adalah lahar hujan. Lahar hujan terjadi karena bekas letusan
gunungapi tersebut mengalami kosong dibagian puncak sehingga ketika hujan
terisi oleh air. Hujan yang terjadi terus-menerus dapat menyebabkan rusak atau
ambrolnya sisi gunung yang berdampak pada timbulnya lahar hujan. Terjadi salah
penyebutan di masyarakat yaitu lahar dingin, sebenarnya yang lebih tepat adalah
lahan hujan yaitu lahar yang timbul karena hujan.
4.
Material yang dikeluarkan oleh letusan
gunungapi berpotensi menyebabkan sejumlah penyakit pernapasan (ISPA).
5.
Lahar panas yang melewati hutan akan
menyebabkan hutan terbakar. Seperti yang terjadi di leren Gunung Merapi yang mengakibatkan ekosistem alami hutan
terancam.
Selain dampak negatif
yang ditimbulkan oleh letusan gunungapi, disisi lain membawa manfaat bagi
masyarakat sekitar lereng gunung. Manfaat letusan gunungapi adalah sebagai
berikut:
1.
Tanah yang dilalui bekas letusan
gunungapi sangat baik abgi pertanian sebab terdapat mineral yang dapat
menyuburkan tanah sehingga tanaman akan subur dan berkualitas.
2.
Terdapat mata pencaharian baru bagi
masyarakat yaitu pasir bekas letusan dapat digunakan untuk menunjang ekonomi,
seperti yang dilakukan masyarakat Kediri pasca meletusnya Gunung Kelud tahun
2014 lalu. Selain pasir, batuan bekas semburan gunungapi juga dapat dimafaatkan
sebagai bahan bangunan.
3.
Muncul ekosistem baru akibat meletusnya
gunungapi. Meskipun ekosistem hutan rusak tetapi lambat laun akan digantikan
oleh ekosistem jenis baru.
D.
Jenis Tanah Vulkanis
Tanah andosol atau
disebut juga tanah vulkanik yaitu tanah yang terbentuk dari proses andosolization. Proses ini adalah
proses yang terjadi akibat pengendapan mineral dari sebuah pelapukan vulkanik
dan campuran logam kompleks serta humus. Karakteristik tanah andosol mempunyai
retensi sulfat yang kuat. Selain itu sifat atau ciri-ciri tanah andosol yang
lain adalah konstituen koloid tanah andosol yang berguna untuk membantu
idetifikasi andosol tersebut. Namun, ada satu ciri tanah andosol yang utama
yaitu memiliki bahan induk andosol tephra. Tephra tersebut terbentuk dari hasil
campuran dari vulkanik ejecta yang merupakan satu sisa vulkanik. Adapun
kandungan mineral pada sifat atau ciri-ciri andosol yaitu aluminium (Al), besi
(Fe), dan (silisium) Si.
- Faktor
Pembentuk Tanah
Andosol merupakan ciri
khas di daerah pegunungan yang mempunyai curah hujan sekitar 2000 mm/tahun,
yang hampir tidak memiliki musim kering. Bahan induknya berupa tuf vulkan dan
abu vulkanik yang relatif masih muda (Juarti, 2004). Andosol dijumpai pada daerah yang mempunyai
ketinggian lebih dari 1000 m dengan topografi bergelombang, agak rata dan
dataran tinggi gunung berapi, di bawah vegetasi hutan tropika basah. Andosol
merupakan tanah yang masih muda sehingga proses-proses pembentukan tanah masih
lemah.
- Sifat dan
Ciri
Menurut (Juarti, 2004)
solum andosol umumnya agak dalam sampai dalam berwarna hitam sampai kekuningan,
mempunyai horizon A. Tekstur dicirikan oleh kandungan debu yang tinggi. Reaksi
tanah berkisar dari agak masam sampai netral, kandungan bahan organik tinggi di
bagian atas tetapi menurun di lapisan bawah.
Kandungan unsur haranya rendah, terutama untuk N, P, dan K. Fraksi liat
didominasi oleh alofan. Andosol mempunyai permeabilitas yang baik, tetapi sangat peka terhadap erosi baik oleh erosi
air maupun erosi angin.
Tumbuhan khas yang
hidup di sekitar Gunung Tangkuban Perahu adalah pohon Vaksinium atau Manarasa.
Masyarakat sekitar lereng gunung sering menyebutnya dengan istilah pohon
Cantigi. Pohon Manarasa mempunyai ciri khas yaitu pohonya berwarna hitam yang
membedakan dengan vegetasi lain. Hidup pada daerah sekitar gunung dimana pohon
tersebut hidup karena pengaruh dari belerang (sulfur) jika tidak ada pengaruh
dari belerang maka tidak dapat hidup. Mempunyai daun yang berwarna merah di
ujung batang, khasiat dari daun tersebut dapat mengobati diare. Pada musim
panas pohon tersebut akan menghasilkan buah. Meskipun suhu di sekitar tangkuban
perahu tidak menentu apabila pada siang hari dapat mencapi 240 C
sedangkan pada malam hari dapat mencapai 50 C, tetapi pohon Manarasa
tetap tumbuh dengan subur. Selain pohon cantigi yang merupakan tanaman khas
Gunung Tangkuban Perahu terdapat juga pohon yang berusia sekitar 600 tahun.
Pohon tersebut terdapat di sisi jalan apabila akan menuju ke Kawah Domas.
Gambar 10: Pohon Manarasa
(Cantigi)
Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 11: Pohon yang berusia
sekitar 600 tahun
Sumber: Dokumen Pribadi
Sumber: Dokumen Pribadi
Daftar
Pustaka
Buranda, J.P. 2009. Geologi Umum. Universitas Negeri Malang. Diktat Tidak diterbitkan.
Buranda,
J.P. 2009. Geologi Indonesia. Universitas
Negeri Malang. Diktat Tidak
diterbitkan.
Massanai,
M. A. 2015. Geomorfologi Tektonik. Pustaka
Ilmu. Yogyakarta.
Juarti
dan Utomo, D. 2004. Geografi Tanah. Universitas
Negeri Malang. Diktat Tidak
diterbitkan.
Sriyono.
2014. Geologi Dan Geomorfologi Indonesia.
Ombak. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar